Kabut asap adalah sebuah bencana, namun kabut asap berbeda dengan bencana lainnya, seperti gempa, tsunami, yang membunuh manusia secara langsung tanpa peringatan. Kabut asap membunuh manusia secara perlahan dengan mengendapkan begitu banyak penyakit saluran pernafasan di tubuh manusia yang akan diketahui beberapa tahun kemudian. Masyarakat Indonesia tidak akan lupa bagaimana penderitaan warga Sumatera (Riau, Jambi dan Sumsel) serta Kalimantan (Kalsel, Kaltim dan Kalteng) yang menderita sebulan lebih sehingga mengakibatkan penyakit paru dan infeksi pernafasan.
Kasus yang berlangsung tiap tahun akibat ketidaktegasan pemerintah sebelumnya tersebut mencapai puncak ketika asap merebak bukan hanya ke Singapura dan Malaysia, tetapi bahkan berimbas hingga Thailand dan Filipina. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 2015 merupakan yang terparah dalam sejarah Indonesia. Antara Juni hingga Oktober 2015, lebih dari 100.000 kebakara melahap jutaan hektar hutan di Indonesia. Korban, baik manusia maupun hewan telah berjatuhan. Dampak ekonominya pun diperkirakan mencapai lebih dari US$ 15 miliar atau setara Rp 196 triliun.
Lebih dari 20 tahun, kebakaran hutan dan lahan seperti menjadi acara tahunan bagi petani dan korporasi yang ingin membuka hutan dan lahan gambut demi bubur kayu, minyak sawit, karet, atau peternakan skala kecil. Indonesia berjanji akan berupaya lebih keras untuk mencegah kebakaran terulang pada 2016. Nyatanya, kebakaran terulang.
Di Provinsi Riau, status darurat diberlakukan lantaran kebakaran terjadi di sejumlah kabupaten. Lalu, apa yang bisa dilakukan pemerintah? Presiden Joko Widodo telah mengatakan akan mengganti pejabat kepolisian di daerah jika kebakaran masih berlanjut di daerah mereka. Pada Desember 2015, Indonesia mengumumkan lebih dari 50 perusahaan akan dihukum atas peran mereka dalam kebakaran hutan.
Namun beberapa pekan kemudian PN Palembang menolak gugatan perdata dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Majelis hakim menyatakan tidak melihat ada dampak kebakaran hutan pada rusaknya ekosistem, bahkan mengutip ahli yang mengatakan tak terjadi kerusakan karena lahan tetap bisa ditanami oleh akasia.
Tantangan terbesar adalah tiada pihak yang sudi memikul tanggung jawab untuk masalah yang sudah berlangsung berpuluh tahun. Para pegiat lingkungan hidup bahkan meminta Presiden Joko Widodo untuk memimpin langsung upaya penegakan hukum dan mengkaji perizinan atas perusahaan besar yang diduga terlibat dalam bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Selain itu, Presiden juga diminta untuk aktif melakukan pengawasan terhadap perusahaan yang sedang diadili dan diproses hukumnya baik di pengadilan umum maupun oleh penegak hukum kepolisian.
Ada dugaan yang merebak di publik, upaya menjadikan proses hukum hanya sebagai formalitas untuk membersihkan nama baik perusahaan atas tindak kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan tangan pengadilan. Sebagai contoh salah satu perusahaan besar yang tidak berani ditindak pemerintah adalah perusahaan perkebunan kayu milik Asia Pulp and Paper di Ogan Komering Ilir yang diduga merugikan negara hingga Rp 7,9 triliun.
Presiden bahkan mempertanyakan mengapa kebakaran hutan seperti dibiarkan terus berlangsung. Presiden berpendapat hal itu merupakan bentuk praktik manajemen pemerintah yang tidak benar. Presiden bahkan mencurigai ada persekongkolan karena terdapat indikasi bahwa lahan yang terbakar dibiarkan begitu lama dan aparat pemerintah daerah tidak bergerak.
Publik juga bertanya kenapa pihak Polisi gampang mengeluarkan SP3 di kasus kebakaran hutan yang memiliki dimensi internasional dan nasional. Kapolri harusnya memberikan penjelasan secara terbuka alasan-alasan dikeluarkannya SP3 kasus kebakaran hutan. Jika tidak ada penjelasan maka akan menimbulkan dugaan-dugaan karena banyak prasangka yang berkembang di publik terkait kasus kebakaran hutan dan lahan.
Sebelumnya Polda Riau mengeluarkan SP3 kasus kebakaran hutan dan lahan terkait 15 perusahaan yang diduga sebelumnya terlibat. SP3 yang dikeluarkan Polda Riau telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Apalagi, dari sekian banyak kasus pembakaran hutan, hampir tidak ada yang hasilnya memuaskan.
Pemberian SP3 tersebut juga sama sekali tidak menunjukkan rasa empati pada Satgas yang berjibaku di lapangan yang tak mengenal waktu mempertaruhkan jiwa dan raga. Sejak dulu, proses pidana kasus pembakaran banyak yang tenggelam perlahan tanpa penjelasan. Seharusnya aparat bisa tegas dalam menindak, areal perusahaan yang terbakar jelas menjadi tanggung jawab pemegang konsesi.