Beberapa bulan terakhir rakyat memperoleh tontonan gratis gaduh silang sengkarut mengenai Lapangan gas Abadi Blok Masela. Ada apakah gerangan?
Lapangan gas abadi Blok Masela ini terletak di perairan laut Arafuru di kawasan selatan Maluku. Inpex/Shell selaku Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K4S) telah menemukan cadangan gas sebesar 10,7 TCF (Trilion cubic feet) di Blok Masela. Bermodal cadangan gas tersebut, Inpex/Shell mengajukan revisi PoD (Plan of Development) untuk peningkatan kapasitas produksi kilang LNG menjadi 7,5 MTPA (juta ton per tahun) dengan opsi Floating atau terapung. Dengan kata lain, gas Masela diolah dalam kapal LNG, lalu produk LNG dimuat ke dalam tanker LNG untuk diekspor, tanpa peduli dengan kepentingan rakyat banyak dengan mengabaikan kepentingan negara yang lebih luas khususnya masyarakat kawasan timur Indonesia.
Gaduh kilang LNG terapung atau darat.
Usulan revisi PoD-1 ini untuk membangun kilang LNG terapung ini tampaknya mendapat isyarat lampu hijau dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas maupun Menteri Energi Sumber Daya Minerasl (ESDM). Sebaliknya di ujung sana, Menko Maritim dan Sumber Daya menolak mentah - mentah pengolahan gas Masela dalam kilang LNG terapung tersebut. Di mata SKK Migas dan Menteri ESDM, keberadaan gas Masela itu hanya komoditi yang dapat diperdagangkan sebagai LNG, yang hanya mempertimbangkan kepentingan bisnis saja, sementara Menko Maritim menilai bahwa gas Masela bukan hanya sekedar komoditas dagang tetapi juga harus digunakan untuk pengembangan ekonomi rakyat. Perbedaan arah pengembangan gas Blok Masela untuk kepentingan asing atau untuk kepentingan rakyat telah menjadi gaduh nasional yang belum berakhir hingga kini.
Blok Masela Milik rakyat.
Secara konstutional, minyak dan gas bumi adalah kekayaan alam yang terkandung dalam bumi merupakan pokok pokok kemakmuran rakyat, sehinga harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demikian juga cadangan gas di Lapangan Abadi Blok Masela, seharusnya juga harus dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan digunakan untuk kepentingan segelintir elit, golongan atau bahkan hanya untuk kepentingan kontraktor asing saja. Artinya rakyat Maluku punya andil memiliki atas keberadaan gas Masela, sehingga selain memperoleh hak atas PI (Participating Interest), sangat wajar jika rakyat Maluku juga berhak berharap memperoleh manfaat langsung dari pengembangan gas Masela.
Efek berantai pengembangan Blok Masela.
Blok Masela dapat menghasilkan gas 1.200 MMSCFD (juta standar kubik feet per hari) dan 24.000 BPD (barel per hari). Gas tersebut selain digunakan untuk memproduksi LNG 2 x 3,8 MTPA, juga akan digunakan untuk membangun industri hilir. Tidak sampai di situ, efek ganda industri gas Masela antara lain adalah pabrik pupuk urea, olefin center, aromatic center, pembangkit listrik dan industri hilir lainnya.
Sekali lagi dengan catatan : seluruh fasilitas kilang LNG dan industri hilir tersebut hanya mungkin dibangun di darat, bukan di atas kapal. Sekiranya fasilitas kilang LNG dibangun di darat, maka akan tercipta sebuah kota baru yang dapat menjadi pusat pengembangan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia. Kemakmuran akan meningkat dan impian rakyat Maluku terwujud.
Indonesia tidak untuk diobral !
Gaduh pengembangan gas Blok Masela untuk kilang LNG terapung atau kilang LNG di darat sudah saatnya diakhiri. Masela sebuah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan di tengah anjloknya harga migas yang mengakibatkan ekspektasi eksploitasi migas di seluruh dunia mengalami kelesuan. Perbedaan pendapat yang tajam dalam pemilihan opsi terbaik untuk pengembangan Blok Masela mengakibatkan kesulitan bagi Presiden untuk memutuskan seperti yang terlihat dalam ratas kabinet 1 Februari 2016. Kita semua berharap agar pihak istana memilih keputusan yang mengutamakan benefit jangka panjang bagi negara dan rakyat dibanding perhitungan cost benefit yang diusulkan Inpex yang belum teruji.