Lihat ke Halaman Asli

Kehidupan Koas: Kehidupan Tak Layak Dihidupi Manusia (2)

Diperbarui: 4 Desember 2015   00:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Haaah,, yaa walau ingin menikah cepat, toh pada akhirnya belum ada satu kata pun soal pernikahan keluar dari mulutku ketika aku pulang ke kampung halaman. Padahal, calon sudah ada. Seorang laki-laki luar biasa, bertanggung jawab, sayang padaku sedemikian rupa, tapi keinginan orang tualah yang aku utamakan: menikah kalau sudah jadi dokter.

Menyambung artikel sebelumnya, kehidupan koas tidak worth it untuk dijalani jika tidak memiliki motivasi dan mental sekuat baja untuk menjadi dokter. Sebenarnya, koas itu bisa saja dijalani asalkan finansial orang tua atau siapapun yang membiayai kuat, dan memiliki attitude yang benar, karena koas adalah tentang attitude. 

Mungkin saat masih menduduki bangku kuliah, kalian adalah bintang kelas, teladan, panutan, contoh, karena memiliki otak yang encer. Tapi, setelah masuk koas, jangan terlalu berharap bintang itu akan disandang terus menerus. Mungkin bintang itu sudah berpindah ke koas lain karena hal yang tidak dimiliki dirimu. Mungkin koas itu tahu segala hal tentang bola (dan kebetulan konsulen suka sekali bola) atau koas itu punya mobil (karena konsulen senang sekali diantar-jemput rumah-RS setiap hari) sedangkan kalian mungkin naik sepeda saja jatuh. Jadi, otak bukan senjata lagi sekarang. Hanya beberapa saat otak diperlukan, tapi belum tentu meningkatkan nilai.

Lalu, mengapa kami pejuang koas bisa bertahan?

Karena ada satu hal yang begitu bernilai dari kehidupan perkoasan yang tidak dapat diganti dengan apapun: pengalaman.

Pengalaman satu koas dengan koas lain berbeda. Pengalaman satu koas dari hari ke hari berbeda. Dan setiap harinya koas menghadapi hal tidak terduga, yang terus menerus mewarnai kehidupan perkoasan yang terlihat suram ini. Di tengah mendungnya awan, bisa saja timbul matahari kembali. Di sela-sela hujan, bisa saja pelangi itu muncul menghiasi. Ketika jaga IGD dan melelahkan, tiba-tiba dokter jaga membelikan kami jajanan gratis karena beliau akan menikah. Ketika habis dimarahi konsulen karena telat, tiba-tiba pasien yang di-follow up mengucapkan terima kasih yang begitu tulus. Ketika dijahili perawat, konsulen entah kenapa tidak memarahi kami sama sekali.

Sensasi deg-degan, takut, keringat dingin, gak tahu mau ngapain, dan diikuti dengan lega luar biasa itulah yang gak ada di kehidupan lain. Dari masalah kecil, kita belajar hal yang kecil. Lalu timbul masalah lebih besar, kita belajar mengatasi masalah lebih besar. Begitu terus berkembang seperti itu, semakin bisa mengatasi masalah lebih besar, tapi semakin pula bisa menghargai hal-hal yang kecil.

Itulah yang menahan mulutku untuk minta dinikahkan saja secepatnya.

:P

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline