Lihat ke Halaman Asli

Cacar Air: Lebih Baik Mengobati daripada Mencegah

Diperbarui: 23 Agustus 2015   21:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sudah menjadi prinsip lama bahwa kita harus menjauhi orang yang sedang menderita cacar air. Bagi sebagian orang yang pernah terkena cacar air, bukan masalah karena ia tidak akan terkena lagi. Namun bagi orang yang belum pernah terkena cacar air, lebih baik tidak menjenguk sama sekali daripada harus tertular. Apakah kita harus menjauhi orang yang terkena cacar, seperti kita memperlakukan orang dengan HIV?

Cacar air, atau dikenal sebagai chicken pox, adalah penyakit infeksi oleh virus varisela-zoster, yang gejalanya adalah demam, sakit kepala, badan lemas, dan bintik-bintik merah di kulit. Bintik-bintik dimulai dari badan atau punggung, baru menyebar ke muka, tungkai dan lengan, yang tentunya terasa gatal. Karena ini disebabkan virus, maka tidak perlu antibiotik (karena antibiotik adalah untuk bakteri) dan sifatnya swasirna (sembuh sendiri). Obat-obat yang dibutuhkan hanya untuk mengurangi gejala saja, seperti obat anti-gatal dan anti-virus jika ada indikasi.

Cacar air memang menular lewat udara. Ketika penderita cacar batuk, bersin, bahkan tertawa dan virusnya terhirup oleh kita, bisa jadi kita terkena cacar 14-21 hari kemudian. Gejala dan komplikasi cacar air semakin berbahaya pada usia dewasa dibanding dengan saat masih kecil. Kita perlu berfokus pada informasi ini: semakin dewasa usia terkena cacar air, semakin parah juga gejala dan komplikasinya.

Apa yang membedakan dewasa dengan anak kecil? Komplikasi pada anak lebih jarang timbul, sedangkan pada dewasa banyak: peradangan otak, infeksi paru-paru, peradangan sel ginjal, hepatitis, bahkan kelainan darah. Belum lagi kalau terkena ketika hamil khususnya trimester pertama, komplikasinya bisa mengenai janin hingga menimbulkan cacat pada bayi. Komplikasi meningkat, biaya rumah sakit juga meningkat.

Karena menyebar lewat udara, penderita cacar harus diisolasi. Orang lain tidak boleh menjenguk terutama yang belum pernah cacar sebelumnya, harus pakai masker kalau mau kontak, anak yang sakit tidak boleh sekolah, tidak boleh bertemu teman, pokoknya kurung anak di rumah. Memang benar, beberapa hari awal terkena cacar, badan terasa lemas dan tidak bisa beraktivitas. Namun bila keadaan sudah membaik, demam sudah turun hanya tinggal bercak-bercak di kulit saja, bukankan sebuah penyiksaan bila anak harus dikurung di rumah? Kita harus mengijinkannya keluar, bermain seperti dulu. Tunggu. Kasihan anak yang lain. Nanti tertular. Mungkin itu pemikiran kita.

Tidak demikian dengan pemikiran seorang guru taman kanak-kanak (TK) yang pernah saya kunjungi di Jepang. Ketika ada anak yang menderita cacar air, guru TK tersebut akan meminta anak itu beristirahat beberapa hari. Setelah anak sudah bisa bermain, maka anak diminta untuk masuk sekolah, walaupun masih ada bercak-bercak merah di kulit. Mengapa demikian? Kembali ke fakta di atas, semakin dewasa seseorang terkena cacar air, maka semakin besar pula komplikasinya. Orang Jepang sudah memikirkan bahwa lebih baik terkena cacar saat masih kecil dibanding saat dewasa. Lebih produktif untuk istirahat seminggu penuh saat masih TK daripada mengambil cuti seminggu penuh saat kerja. Bukan hanya mengurangi komplikasi, tapi juga mengurangi biaya.

Kita menyadari bahwa momen-momen penting akan bertambah sesuai bertambahnya usia. Apakah itu ujian sekolah, sidang, pernikahan, kehamilan, kelahiran, presentasi, yang menuntut kita harus dalam keadaan fit. Cacar tidak memandang waktu. Dan momen-momen itu terlalu berharga untuk dirusak oleh cacar. Oleh karena itu, jangan hindari cacar ketika anak masih kecil. Jika pembaca adalah orang tua dan anaknya belum terkena cacar, jangan tahan-tahan anak untuk kontak dengan anak lain yang terkena cacar. Jika si kecil sedang terkena cacar, coba sosialisasikan kepada orang tua lain bahwa cacar saat kecil justru menguntungkan. Jika pembaca adalah seorang guru, coba sosialisasikan ini dengan orang tua murid. Mungkin sedikit demi sedikit kita bisa mengubah prinsip lama. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline