Lihat ke Halaman Asli

Viral Pajak Impor Rp 31 Juta, Apa yang Dilakukan Bea Cukai?

Diperbarui: 16 Mei 2024   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

          Publik kembali diramaikan oleh pajak barang impor yang membuat banyak orang menuai kritik mengenai kebijakan pemerintah. Hal ini bermula dari keluhan pengguna TikTok yaitu Radhika Altaf mengenai pajak bea cukai untuk pembelian sepatunya dari luar negeri. Ia mengaku diberikan tagihan bea cukai sebesar Rp 31 juta atas nilai sepatunya yang hanya Rp 10,3 juta. Radhika Altaf pun juga mengaku telah melakukan pengecekan dan perhitungan manual menggunakan aplikasi Mobile Beacukai yang menurutnya ia seharusnya dikenakan pajak bea cukai sebesar Rp 5,8 juta saja. Keluhan tersebut sontak berhasil menuai beragam reaksi publik dan juga turut dibagikan di media sosial X hingga akhirnya viral pada belakangan ini.

            Kejadian tersebut disusul dengan berbagai komentar yang mengungkap penyimpangan pajak impor. Seorang pengguna media sosial X mengungkapkan keluhannya terkait bantuan alat belajar yang ia dapat dari perusahaan Korea Selatan untuk SLB yang yang mendapatkan pajak bea cukai ratusan juta dan harus membayar denda gudang. Selain itu banyak influencer yang mengungkapkan hal serupa, seperti hal nya salah satu influencer yang barang mainannya harus ditahan pihak Bea Cukai. Ia pun menduga adanya pungutan liar yang dilakukan oleh dikarenakan harga barang tersebut seharusnya $899, namun Bea Cukai menetapkan harga pembelian barang tersebut sebesar $1.699. Benarkah Bea Cukai melakukan pungutan liar?

            Viralnya kasus ini akhirnya mendapatkan penjelasan dari pihak Bea Cukai. Menurut Bea Cukai yang disampaikan melalui akun X @beacukaiR_I menjelaskan bahwa pemiliki sepatu tersebut menggunakan perusahaan jasa kirim DHL yang melaporkan CIF atau nilai pabean produk senilai US$ 35,37 atau sekitar Rp 562.736. Namun setelah dilakukan pemeriksaan, nilai pabean atas barang tersebut adalah US$ 553,61 atau Rp 8.807.935. Sehingga atas ketidaksesuaian tersebut dikenakan sanksi berupa denga sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2023 pasal 28 bagian kelima, pasal 28 ayat 3.

"Dalam hal penetapan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk yang disebabkan karena kesalahan pemberitahuan nilai pabean dan arang kiriman merupakan hasil transaksi perdagangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) huruf a, selain wajib melunasi kekurangan pembayaran bea masuk, impor dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perhitungan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan," demikian bunyi pasal yang dimaksud.

Besaran sanksi yang dikenakan pun sesuai dengan PP Nomor 39 Tahun 2019 pasal 6 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan yang mencapai Rp 24.736.000 yang jika di total dengan pajak impor dan bea masuk mencapai Rp 30.928.544. Pihak Bea Cukai juga mengimbau untuk berkonsultasi dengan jasa pengiriman yang digunakan terkait pengenaan sanksi tersebut. Hal ini membuktikan bahwa pihak Bea Cukai tidak melakukan pungutan liar atas kasus tersebut.

Namun yang menjadi masalah utama dalam keriuhan kasus ini adalah kepercayaan publik yang sudah mulai luntur. Membangun kepercayaan publik tidak semudah membalikkan telapak tangan sehingga membutuhkan proses yang panjang untuk membangun kepercayaan masyarakat, tidak hanya dengan komunikasi publik tetapi dengan perubahan yang nyata. Perbaikan pelayanan dan meningkatkan pengawasan agar tidak terdapat oknum-oknum yang menyalahgunakan kekuasaan merupakan hal yang sebenarnya masyarakat inginkan dari pemerintah.

Sehingga menurut saya dari sudut pandang masyarakat terkait dengan kasus viral ini petugas yang berada di lapangan perlu memberikan informasi yang lengkap dan pemahaman mengenai ketentuan-ketentuan yang berlaku mengingat dalam era sekarang ini banyak sekali masyarakat yang melakukan impor sebagai dampak adanya digitalisasi. Namun sebagai masyarakat kita baiknya tidak melimpahkan kesalahan pada pemerintah saja, dikarenakan kasus ini disebabkan adanya sanksi denda yang sangat besar melebihi nilai impornya, maka kita sebagai masyarakat seharusnya merubah pandangan dan paradigma kita bahwa adanya sanksi tersebut dilakukan agar kita sebagai warga negara patuh terhadap peraturan yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline