"Soekarno man wijf, pengecut dan banci," gerutu Sjahrir, sesaat setelah seruannya untuk segera membacakan Proklamasi, ditolak mentah-mentah oleh Bung Karno.
Saat itu, kata Subandio, Soekarno memang belum melihat tanda-tanda kekalahan Jepang dari sekutu. Sebuah sikap yang tentunya menegasikan informasi, sekaligus membuat Sjahrir berang, selaku orang yang mendengar langsung - sekaligus pemimpin para pemuda kala itu - mengenai berita kekalahan Jepang di radio.
Hubungan kedua tokoh ini, memang bisa dibilang berjalan kurang harmonis. Menurut Cindy Adams, Soekarno paham betul bahwa di belakang dirinya, Sjahrir menunjukkan wajah ketidaksukaan yang nyata. "Dia tertawa mengejekku diam-diam, tak pernah di hadapanku. Soekarno itu gila. Kejepang-jepangan. Soekarno pengecut," cerita Soekarno kemudian.
Kalau ditelisik kembali, jauh waktu setelah itu, kisah persinggungan di antara keduanya terjadi lebih rumit lagi. Sewaktu keduanya (bersama dengan Haji Agus Salim) berada di Parapat, sebuah kota kecil di pinggiran Danau Toba, pada saat pengasingan Belanda, menurut Agus Salim, pertengkaran Sjahrir dan Soekarno terjadi hampir setiap hari.
Suatu ketika, di kala Sjahrir sedang uring-uringan akibat dilanda kebosanan dan kesepian, dirinya dibuat geram oleh lantunan suara Bung Karno yang sedang menyanyikan lagu One Day When We Were Young, ketika sedang mandi.
Mendengar itu, seketika nafsu amarahnya memuncak. Dengan nada tinggi, Sjahrir kemudian mendekatkan langkahnya ke pintu kamar mandi, seraya berkata, "Hous je Mound! (tutup mulutmu!)."
Dalam momen yang sama, Soekarno dan Sjahrir juga pernah terlibat adu mulut. Saat itu, Soekarno meminta kepada penjaga pengasingan untuk dibelikan sebuah kemeja Arrow yang baru. Mendengar permintaan Soekarno itu, Sjahrir segera menghampirinya.
"Kamu ini kan Presiden. Kenapa meminta-minta seperti itu? Jaga martabat, Bung. Dasar pandir!" ucap Sjahrir ketus pada Soekarno. Mendengar perkataan Sjahrir, sontak Bung Karno pun naik pitam. "Tolong jaga kata-kata, Bung. Saya ini kepala negara!" sahut Bung Karno. "Iya, kepala negara yang tolol," seloroh Sjahrir sembari berjalan pergi.
Momen-momen pertentangan dua tokoh inilah, yang kemudian menimbulkan friksi menjelang detik-detik kemerdekaan. Sjahrir -- beserta para pemuda -- yang keukeuh meminta pembacaan Proklamasi dilakukan sesegera mungkin, akibat tidak ingin kemerdekaan yang diraih dianggap sebagai sebuah hadiah pemberian Jepang, berhadapan dengan kebebalan kelompok tua, yang juga bersikeras menunggu kepastian berita kekalahan Jepang.
Maka kecamuk lafaz "Merdeka!" yang kadung menguasai hasrat para pemuda kala itu, pada akhirnya tak bisa lagi terbendung. Tepat dua hari sebelum Bung Karno dan Bung Hatta membacakan teks Proklamasi di Jakarta, para pemuda di Cirebon, telah lebih dahulu membacakan deklarasi kemerdekaan Indonesia.
Sjahrir yang merasa kecewa dengan sikap Soekarno dan Bung Hatta, pada akhirnya lebih memilih untuk "menyingkir" dari peristiwa bersejarah yang terjadi. Fakta bahwa Sjahrir tak hadir pada saat prosesi pembacaan Proklamasi oleh Soekarno, merupakan sebuah indikasi yang cukup jelas bahwa dirinya tak cukup puas atas apa yang telah terjadi.