Lihat ke Halaman Asli

Linggar Kharisma

Political Scientist In Digital Creative Industry

Senja di Banda Neira: Dialog Imajiner Hatta & Iwa

Diperbarui: 18 November 2016   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Banda Neira (foto: www.thehasfa.com)

Sore itu, suasana begitu sejuk. Semilir angin yang berhebus, menyapu pepasiran di pinggir pantai yang warnanya putih. Dahan pohon kelapa yang bergelayut bimbang ke kanan dan ke kiri, melengkapi hangatnya pancaran mentari yang turun perlahan di ufuk timur.

Seperti biasa, selepas melaksanakan rutinitas spiritual kepada Sang Khalik, Hatta berjalan-jalan santai mengitari seputaran pulau kecil nan indah itu. Banda Neira, namanya. Di sinilah Bung berkacamata tebal ini, menghabiskan sisa masa pengasingannya.

Dari guritan hitam di atas putihnya, kelak kita mafhum bahwa Neira merupakan jawaban terindah atas berbagai peluhnya kisah Hatta selama di Digul. Tempat yang ia huni untuk menemani kejamnya sebuah proses pengasingan. Baginya, Neira adalah surga penuh kenikmatan tiada tara. Sungguh.

Banda Neira menawarkan kehangatan, yang menyelimuti dinginnya udara malam kawasan pesisir. Keramahan warga lokal, dan kearifan kultur masyarakat di sana pada penduduk asing, tentu membuat suasana tak seperti berada di sebuah kondisi pembuangan.

“Belanda itu dungu. Sunguhpun, Neira terlampau memesona untuk sekadar dijadikan tempat bagi pengasingan tahanan politik. Tak ada kepandiran di dunia ini yang sangat aku syukuri, selain ini..” pungkas Hatta, tatkala pertama kali menginjakkan kaki di Neira.

 **

Meski tanah Neira terlampau landai untuk dipijak, telapak kaki kecilnya mulai terasa keras. Maklum saja, Hatta tak terbiasa untuk memakai alas kaki saat menjelajahi pulau kecil itu pada sore hari.

Setelah cukup lama berjalan, sosok ini selalu menyempatkan dirinya untuk melepas lelah. Berteduh di bawah rindangnya pohon ketapang, di samping surau tak berpenghuni, sembari membuat beberapa catatan kecil, merupakan kegiatan lain yang selalu dilakukannya.

Kalau hendak dibedah, sudah barang tentu isi kepalanya berisi jutaan kata-kata dan pemikiran-pemikiran besar. Tiga belas kotak peti berisi buku yang ia bawa dari Batavia, menjadi pemantik bagi moncernya kecerdasan yang dimiliki seorang Hatta.

Ragam koleksi buku yang ia dapatkan selama kuliah di Leiden, dan beberapa negara lain di Eropa merupakan pusaka yang terus ia jaga kemana-mana. Tanpa buku, hidupnya hampa. Tanpa buku, ia tak bergairah. Tanpa buku, takkan lahir ide-ide briliannya dalam proses perjuangan kemerdekaan. Buku merupakan separuh jiwanya. Taka ada keraguan akan itu.

**

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline