Lihat ke Halaman Asli

Akbar Linggaprana

Melukis, Menulis dan Mengajar merupakan aktifitas yang mengasyikkan

Hidupku untuk Negara dan Bangsa

Diperbarui: 23 Juni 2021   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di atas Jeep Komando (instagram @aniyudhoyono)

Seri 4 : Catatan Harian Sarwo Edhie Wibowo (Penutup)

Sarwo Edhie hanya mengenal dua dunia, yaitu keluarga dan kemiliteran. Kedua dunia itu, dan dalam diri seorang Sarwo Edhie Wibowo, sama sekali terpisah. Secara prinsip, tugas kemiliteran bagi Sarwo Edhie adalah ketaatan dalam disiplin. Sedangkan keluarga adalah tempat mengabdi dan mengayomi.

Sarwo Edhie tidak mencoba menghubungkan keduanya. Artinya, tidak ada peluang untuk saling memanfaatkan dua dunia itu, untuk menarik keuntungan atau kompromi tertentu. Di samping itu Sarwo sangat tertutup jika ditanya soal tugas kemiliteran yang diembannya. Bahkan, ketika ditanyakan oleh istrinya sendiri.

Sulit membayangkan bagaimana pribadi yang bersikukuh untuk selalu ada di dunia militer harus pindah ke dunia lain? Akan tetapi, itulah realitas yang dihadapi seorang Sarwo Edhie yang pernah mendapat pendidikan militer calon perwira Peta, Magelang; Infantry Officer Advanced Course (Kursus Lanjutan Perwira Infanteri) di Fort Benning, Amerika Serikat, dan Command and General Staff College (Sekolah Staf dan Komando/Sesko), di Australia. Riwayat pendidikan kemiliterannya merefleksikan konsistensinya untuk menjadi prajurit pejuang dan prajurit profesional sepenuhnya.

Saat mengikuti pendidikan Sekolah Staf dan Komando (Command and General Staff College) Fort Queenshlift, Australia (via kumparan)

Ironisnya, sebagian besar karier Sarwo Edhie pada masa Orde Baru, lebih banyak pada tugas-tugas kekaryaan. Sebagai orang yang dikaryakan, Sarwo Edhie bisa dikatakan tidak memainkan peranan yang sentral. Ia bukan superstar, bahkan dialah salah satu contoh generasi '45 yang tidak memiliki kecanggihan dalam berpolitik. Itulah pula agaknya yang menyebabkan ia tidak terlalu lama menempati posisi sebagai Pangdam XVII/Cendrawasih yang juga harus pula mampu mengelola soal-soal politik di wilayah otoritasnya, Sarwo Edhie memang lebih tepat sebagai elite militer, daripada elite politik.

Letnan Jenderal TNI Purnawirawan ini menyukai film sejarah dan kolosal, seperti halnya Benhur, dan memilih Jenderal Douglas Mc. Arthur serta Jenderal Rommel sebagai tokoh yang dikaguminya. Namun, ia tetap menyukai wayang dan keris. Ia mewariskan tujuh keris kepada ketujuh putra putrinya, buah pernikahannya dengan Sunarti Sri Hadiyah (Yogyakarta, 20 Mei 1930), yaitu Wijiasih Cahyasasi (Magelang, 27 Januari 1950), Wrahasti Cendrawasih (Magelang, 6 Juli 1951), Kristiani Herawati (Yogyakarta, 6 Juli 1952), Mastuti Rahayu (Yogyakarta, 15 Juli 1953), Pramono Edhie Wibowo (Magelang, 5 Mei 1955), Retno Cahyaning Tyas (Cimahi, 31 Mei 1960), dan Hartanto Edhie Wibowo (Jakarta, 31 Mei 1969).

 Bersama isteri dan ketujuh anaknya. Dokumentasi diambil saat menjadi Duta Besar RI untuk Korea Selatan (intisari.grid.id)

Salah seorang anak lelakinya yang tertua (Pramono Edhie Wibowo), mengikuti jejaknya sebagai militer dan menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat ke-27 (2011-2013). Dua menantunya juga Jenderal, salah satunya adalah Jenderal Purnawirawan Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono mengemban amanat sebagai Presiden RI ke-6 selama dua periode 2004-2014.

Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, pada Kamis dini hari pukul 03.40 dalam usia 64 tahun. Menurut keterangan dokter, Sarwo Edhie terkena stroke. Hal itu bermula ketika ia mulai menderita diabetes dan tekanan darah tinggi, sehingga mengalami kelumpuhan pada kakinya, di Bandung, Maret 1989. Saat itu, ia usai menghadiri acara pendidikan dasar Wanadri. Dalam keadaan tidak mampu berjalan, Sarwo Edhie segera dibawa ke Jakarta dan dirawat di Metropolitan Medical Center (MMC) Kuningan.

Sebagai pelindung Wanadri saat menjadi inspektur upacara pelantikan anggota baru di Situ Lembang Bandung, 1983 / gerakita.com

Dua bulan kemudian, ia diterbangkan ke Amerika Serikat melalui bantuan pengungsian medik udara TNI AU untuk mendapatkan perawatan lanjutan  di rumah sakit Angkatan Darat AS Walter Rees, di Washington DC. Namun, ternyata kondisinya tidak mengalami kemajuan, dan akhirnya dibawa kembali ke Jakarta.

Kemudian Sarwo Edhie dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, dan ayah tujuh anak itu, menghembuskan nafas terakhirnya. Jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan ayah bundanya di Ngupasan, Purworejo, Jawa Tengah, bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 1989.

Atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara, Sarwo Edhie dianugerahi berbagai tanda asa oleh pemerintah, antara lain : Medali Sewindu APRI; Satya Lencana Perang Kemerdekaan ke I; Satya Lencana Perang Kemerdekaan ke II; Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) I, III, V, GOM VI; Satya Lencana Penegak; Satya Lencana Kesetiaan 24 tahun; Satya Lencana Satya Dharma; Satya Lencana Wira Dharma; Satya Lencara PEPERA.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline