Oleh A. Fajar Yulianto*
Sejarah kelam perjalanan bangsa Indonesia pascakemerdekaan, berawal rencana jahat dan makar dari Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 oleh gerombolan Muso. Kemudian PKI kembali memberontak pada tahun 1965yang dipimpin oleh DN. Aidid. Mereka menghalalkan segala cara, untuk menggantikan Pancasila sebagai ideologi bangsa dengan ideologi komunisme. Dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi bangsa, fhilosofisce grondslag (falsafah hidup) yang beradab, yang selalu menekankan norma-norma kehidupan berbangsa dan bernegara, serta Pancasila sebagai identitas nasional Indonesia hampir saja turut terkubur di lubang buaya.
Alhamdulillah, berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa pula, dengan semangat keyakinan yang kuat Pancasila sebagai fhilosofisce grondslag bangsa ini, maka gerakan 30 September 1965 dapat ditumpas pada tanggal 1 Oktober 1965 oleh Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie. Peristiwa itu memakan nyawa tujuh putra terbaik bangsa. Jenazah mereka dibuang dan dimasukkan ke dalam sumur tua dengan kedalaman kurang lebih 10 meter. Pemerintah kemudian mengangkat mereka sebagai Pahlawan Revolusi dan menetapkan 1 Oktober 1965 sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Usai peristiwa itu, perjalanan waktu dan zaman berubah dengan cepat. Era globalisasi telah bersama bangsa Indonesia. Sebagai generasi penerus bangsa, kita harus tanggap terhadap geliat tanda-tanda tumbuhnya embrio ideologi komunisme. Sebab, PKI boleh mati dan tidak punya ruang lagi di wilayah Indonesia tapi ideologi komunisme/marxisme akan tetap hidup dan mengancam dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa. Komunisme/marxisme termasuk kategori bahaya laten. Mereka cenderung menghalalkan segala cara, bahkan berpolitik tanpa etika.
Bahaya dari ideologi diam-diam juga tumbuh dalam era globalisasi. Dengan kemajuan teknologi infomasi dan komunikasi yang sangat luar biasa, mencari literatur apapun dapat dihimpun dengan mudah, bahkan hanya melalui genggaman tangan -- dengan gadget, informasi apapun langsung bisa terakses. Di sisi lain perkegeseran nilai moral yang cenderung tidak pancasilais mulai dirasakan. Penggunaan internet yang tak terkontrol mendorong banyaknya penyimpangan dalam memaknai agama. Sehingga banyak memicu keretakan kerukunan dan persatuan kesatuan dengan saling membenarkan diri-sendiri tanpa toleransi.
Internet menjadi ruang terbuka untuk menyaksikan pelanggaran hak asasi manusia, prilaku korup oleh oknum pejabat, hingga oknum anggota dewan sebagai wakil rakyat pun menghalalkan segala cara untuk mencari keuntungan pribadi dan golongan. Bahkan perilaku yang selalu mengungkit dosa pemimpin masa lalu dengan tidak intropeksi diri serta mawas diri. Pada sisi lain, peredaran narkoba yang semakin menggila berandil besar dalam merusak moral generasi muda.
Praktek berdemokrasipun harus bersuap membeli suara, hingga mencari keadilan di ruang sidang juga berbiaya. Berita mengenai suap dan gratifikasi terhadap oknum penegak hukumpun sudah sangat terbiasa. Pada sisi budaya, serbuan budaya impor yang tak sesuai dengan norma masyarakat ketimuran dan nilai-nilai Pancasila disukai generasi muda. Jika demikian di mana Kesaktian Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya?
Inilah tantangan era globalisasi dan digital yang menggerus identitas bangsa. Pancasila diharapkan dapat menjadi filter utama untuk mempertahankan karakter atau identintas nasional. Menurut sejarawan Arnold Joseph Toynbee, identitas nasional merupakan ciri khas suatu bangsa yang di dalamnya terdiri dari local genius dalam menghadapi tantangan dan respon. Jika tantangan besar dan respon kecil maka bangsa akan punah, dan jika setiap tantangan direspon besar maka bangsa akan berkembang dan menjadi bangsa yang kreatif;.
Dalam rangka mempertahankan nilai kesaktian Pancasila agar tetap langgeng mandarah-daging pada era globalisasi dan digitalisasi, maka harus kita respon dengan daya upaya serta kekuatan yang besar, dan tidak bisa diserahkan pada negara saja. Namun, harus secara bersatupadu bergotong-royong berupaya pada seluruh sendi-sendi kehidupan hingga lingkungan keluarga, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan formal maupun nonformal, hingga penggunaan media sosial secara sehat.
Kesaktian Pancasila dapat dipertahankan hanya dengan perilaku gotong-royong dari semua elemen bangsa. Upaya serentak mejalankan rechtschapen leven leidde (Tabiat budi luhur) dengan membiasakan budaya rukun, saling membantu dan saling menolong, budaya kompak saling memperkuat satu dengan yang lain, budaya kerja sama yang baik saling bekerjasama, bekerja berdasarkan kompetensinya masing masing dengan tujuan yang sama, budaya jujur mampu berkata benar dan tidak berdusta, budaya amanah yaitu saling percaya dan menjaga kepercayaan dan budaya hemat yakni sikap sederhana tidak dalam pemborosan dalam arti mampu menata hidup dalam keseimbangan.