Lihat ke Halaman Asli

LINES

LDII News Network

Visi Baru Indonesia sebagai Anggota ASEAN

Diperbarui: 9 Agustus 2021   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karikatur oleh Paresh Nath, jchistorytuition.com.sg

Oleh Gun Gun Hidayat*

Setiap 8 Agustus, rakyat di negara-negara Asia Tenggara diingatkan mengenai lahirnya Association of Southeast Asian Nations atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). ASEAN lahir pada 8 Agustus 1967 ditandai dengan Deklarasi ASEAN yang ditandatangani oleh enam menteri luar negeri saat itu: Adam Malik dari Indonesia, Narciso R. Ramos dari Filipina, Tun Abdul Razak dari Malaysia, S. Rajaratnam dari Singapura, dan Thanat Khoman dari Thailand.

Pada usia 54 tahun, sebagai perhimpunan usia ASEAN cukup matang dalam merespon dan melalui berbagai  dinamika baik yang timbul di regional Asia Tenggara maupun di luar kawasan itu. Dalam kurun lima tahun terakhir, ASEAN menghadapi tantangan serius, di antaranya hiruk pikuk isu geopolitik, mulai isu klaim sepihak China terhadap Laut China Selatan (LCS) dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Lalu soal isu pertahanan Indo Pasifik, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCP), Trans-Pacific Partnership (TPP), kudeta di Myanmar, dan terakhir mengenai isu penawaran program dan produk vaksin antara China dan Amerika Serikat (AS). 

Dari beragam isu yang terus menerobos kerekatan persahabatan sesama negara anggota ASEAN (AMS) itu, masalah LCS yang paling berbahaya dan berpotensi menyeret Asia Pasifik ke dalam neraka Perang Dunia III. Saat ini, LCS yang membentang seluas 3,5 juta menjadi palagan pameran kekuatan senjata adidaya. AS secara rutin mengirim kapal perangnya melintasi wilayah itu. Jerman pun, yang biasanya memilih langkah netral atau tak bermusuhan langsung dengan China, mengirim kapal perang. Alasannya, untuk menjunjung tinggi kebebasan bernavigasi dan menyinggahi beberapa negara yang berseberangan dengan China dalam kasus LCS. Manuver Jerman itu, mungkin saja menambah kepercayaan diri AMS dalam menghadapi China.

Masalah LCS bukan hanya mendorong konflik antara China dan AMS, tapi juga gesekan di antara anggota ASEAN. Gelombang masalah itu, mendorong pertanyaan mengenai manfaat dan kebaikan yang dihasilkan ASEAN. Perlu diingat bahwa dalam politik -- termasuk pada tingkat internasional -- berlaku situasi "tidak ada makan siang gratis" dan akan tetap ada trade off dari suatu langkah atau kebijakan. 

Dalam relasi politik seperti itu, kebaikan atau "gula" yang diterima pada satu sisi, sangat mungkin lebih kecil nilainya dari kehilangan yang kita alami atau  berarti kerugian yang kita terima.  Sebagai contoh di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, yang saya terlibat di dalamnya dalam beberapa tahun. Kerja sama antara Indonesia dan AMS dalam bidang itu,  nuansa yang dibangun adalah Indonesia menjadi appropriator. Alasannya, kemampuan yang dimiliki Indonesia dalam penangan lingkungan dan kehutanan lebih maju, dan dari sisi ukuran sumberdaya, tentu lebih besar. 

Namun di sisi lain,  hubungan antar AMS tidaklah  setulus dan semulus yang diharapkan. Beberapa AMS membiarkan bahkan memfasilitasi warganya, untuk melanggar kedaulatan batas-batas teritorial atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) untuk kepentingan ekonomi.  Tindakan penegakan hukum guna mempertahankan kedaulatan seperti  penenggelaman kapal,  direspon  dengan tindakan "retaliasi atau aksi pembalasan", seperti alasan pengetatan pemeriksaan importasi oleh AMS tertentu yang mengakibatkan pelambatan ekspor Indonesia. Sehingga tidak mengherankan bahwa kebijakan penenggelaman kapal nelayan pada era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti mendapatkan kritikan dari pihak yang terkena dampak "retaliasi" tersebut.

Hubungan dalam AMS yang tak selalu menguntungkan itu, sudah selayaknya Indonesia merefleksi 54 tahun kebersamaannya bersama ASEAN, sebagai langkah konstruktif untuk lebih menguatkan keberadaan organisasi internasional itu. Sebagai negara demokrasi dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia telah menghasilkan para diplomat sekaligus cendekiawan muslim yang disegani dunia, seperti Dr. H Agus Salim, Dr. Hasyim Djalal,  Dr. Ali Alattas, dan lain lain. 

Negeri ini dapat mengadopsi qaidah ushul fiqh: "Dar'ul Mafasid muqoddamun 'alaa jalbil mashaalih" yang artinya menghindari keburukan harus didahulukan daripada meraih kebaikan. Dalam konteks waktu dapat diartikan lebih baik menghindari keburukan yang segera atau nyata di depan mata akan terjadi, daripada hal tersebut dikorbankan demi mencapai cita-cita atau harapan terciptanya suatu kebaikan. Para diplomat ulung, bila diperhatikan kerap melaksanakan kaidah fikih itu.

Di titik inilah Indonesia, harus memikirkan kembali posisi dan sikap dalam mengelola partisipasinya di dalam ASEAN. Bahkan bila memungkinkan, sebagai AMS terbesar dan host-country untuk ASEAN, Indonesia menjadi appropriator yang mendorong terwujudnya norma-norma baru yang lebih fair, adil dengan tetap saling menghormati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline