Oleh Ari Sriyanto
Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri dari suku, ras dan agama, yang berbeda-beda sehingga diperlukan toleransi dalam memahami keberagaman. Oleh sebab itu moderasi beragama sangat tepat sekali diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam kondisi masyarakat yang multikultural. Moderasi beragama merupakan pemikiran yang berkebalikan dengan fundamentalisme yang kerap kaku dan tidak toleran. Untuk menerapkan moderasi beragama dalam masyarakat multikultural memerlukan pendekatan sosio-religius dalam beragama dan bernegara.
Apalagi belakangan ini, keragaman Indonesia sedang diuji. Sikap antikeberagamaan yang ekstrem diekspresikan oleh sekelompok orang atas nama agama, tidak hanya di media sosial tapi juga di jalanan. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan dunia sedang menghadapi tantangan adanya kelompok masyarakat yang bersikap eksklusif, eskplosif, serta intoleran dengan mengatasnamakan agama.
Moderasi beragama menjadi arus utama dalam corak keberagamaan masyarakat Indonesia. Argumentasi yang dibangun adalah beragama secara moderat sudah menjadi karakteristik umat beragama di Indonesia, dan lebih cocok untuk kultur masyarakat yang majemuk. Beragama secara moderat adalah model beragama yang telah lama dipraktikkan dan tetap diperlukan pada era sekarang.
Dalam konteks ini, narasi pentingnya jalan tengah (the middle path) dalam beragama, sesungguhnya memiliki nilai urgensinya untuk terus-menerus digaungkan oleh tokoh agama, akademisi kampus yang memiliki otoritas, dan melalui saluran berbagai media. Penggaungan narasi semacam itu khususnya untuk memberikan pendidikan kepada publik, bahwa bersikap ekstrem dalam beragama, pada sisi manapun, akan selalu menimbulkan benturan.
Karena moderasi ini menekankan pada sikap, maka bentuk moderasi ini pun bisa berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya, karena pihak-pihak yang berhadapan dan persoalan-persoalan yang dihadapi tidak sama antara satu negara dengan negara lainnya. Di negara-negara mayoritas muslim, sikap moderasi itu minimal meliputi: pengakuan atas keberadaan pihak lain, pemilikan sikap toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan kehendak dengan cara kekerasan. Hal ini berdasarkan pada ayat-ayat Al-Quran, antara lain menghargai kemajemukan dan kemauan berinteraksi (QS. al-Hujurat:13), ekspresi agama dengan bijaksana dan santun (QS. al-Nahl: 125), prinsip kemudahan sesuai kemampuan (QS. al-Baqarah: 185, al-Baqarah: 286 dan QS. al-Taghabun: 16).
Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama ini, niscaya akan menghindarkan kita dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama. Seperti telah diisyaratkan sebelumnya, moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultrakonservatif atau ekstrem kanan di satu sisi, dan liberal atau ekstrem kiri di sisi lain.
Pilihan pada moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan, melainkan keharusan.
Strategi dakwah yang baik adalah dakwah yang senantiasa memerhatikan ketepatan sasaran dakwah atau mitra dakwah. Sangat penting bagi seorang da'i mengetahui secara baik masyarakat sebagai sasaran dakwah, baik dari aspek budaya, adat istiadat, pengetahuan dan bahkan aspek ekonomi. Tiap kondisi tersebut mengharuskan strategi khusus yang sesuai dengan kondisinya masing-masing.
Moderasi Beragama pada Era Internet