Lihat ke Halaman Asli

Linda Purnama Sari

Dosen Universitas Hayam Wuruk Perbanas Surabaya

Tata Kelola Perusahaan Keluarga dan Tindakan Ekspropriasi

Diperbarui: 18 Juli 2024   12:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Tata Kelola Perusahaan Keluarga dan Tindakan Ekspropriasi

Tata kelola perusahaan adalah salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengatasi perbedaan kepentingan antara perusahaan dengan pemangku kepentingan. Guna menyelesaikan perbedaan ini, perusahaan biasanya bergantung pada peran pemegang saham mayoritas sebagai pengambil keputusan yang paling dominan. Pada sebagian negara khususnya negara berkembang, pemegang saham mayoritas terdiri dari keluarga. Seperti di Indonesia, sebagian besar perusahaan yang go public maupun yang belum go public dimiliki oleh keluarga. Atau dengan kata lain, bisnis yang dijalankan di Indonesia adalah bisnis keluarga. Dalam perusahaan keluarga, jenis pengelolaan aktivitas usaha (bisnis) dapat  dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu  family owned enterprise (FOE) dan family business enterprise (FBE). FOE adalah perusahaan yang dikelola oleh eksekutif profesional dari luar lingkaran keluarga dan kinerjanya diawasi oleh pihak keluarga. Sedangkan FBE adalah perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh anggota keluarga pendiri dengan posisi-posisi kedudukan yang menjadi kunci dipegang oleh pihak keluarga (Susanto, 2005). Bisnis keluarga di Indonesia sampai dengan saat ini telah memberikan kontribusi sebesar 82,44% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Menurut data dari Indonesian Institute for Corporate and Directorship (IICD, 2022), menunjukkan bahwa lebih dari 95% bisnis di Indonesia adalah perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga. Sementara sebanyak 53% dari perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia merupakan perusahaan keluarga, termasuk perusahaan dari sektor jasa keuangan. Awalnya, usaha keluarga berkembang dari sebuah usaha tradisional. Beberapa usaha keluarga yang terkemuka di Indonesia antara lain Salim Group (Lim Sui Liong), Sinar Mas Group (Eka Cipta Wijaya), Lippo Group (Mochtar Riady) dan Para/CT Group (Chairul Tanjung). Keberhasilan usaha yang mereka rintis dan telah dipertahankan hingga kini, dapat meningkatkan kelas atau peringkat sebuah keluarga. Namun di sisi lain dapat pula menimbulkan konflik yang mungkin dapat memecah belah rasa persaudaraan diantara mereka. Upaya untuk mengelola dinamika usaha keluarga ke arah yang positif membutuhkan waktu dan tingkat profesionalisme yang tinggi serta rasa persaudaraan yang kuat. Hal inilah yang membuat kehadiran usaha keluarga menjadi fenomena menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Perusahaan keluarga adalah perusahaan yang dijalankan dan dikendalikan oleh pewaris dari individu yang sebelumnya bertanggung jawab terhadap perusahaan atau oleh keluarga yang dalam proses untuk mengalihkan kendali perusahaan kepada pewarisnya (Morck & Yeung, 2004). Namun demikian, tidak semua pekerja atau pegawai berasal dari keluarga, melainkan juga ada yang berasal dari pihak non keluarga. Menurut La Porta et.al (1999) kepemilikan keluarga merupakan kepemilikan dari individu dan kepemilikan dari perusahaan tertutup (lebih dari 5%) yang bukan perusahaan publik, negara atau lembaga keuangan. Atau dengan kata lain, perusahaan dengan kepemilikan keluarga tidak hanya terbatas pada perusahaan yang menempatkan anggota keluarganya pada posisi sebagai CEO, komisaris atau manajer, akan tetapi perusahaan ini umumnya dimiliki secara mayoritas oleh keluarga tertentu atau kepemilikan sahamnya terkonsentrasi pada keluarga tertentu.

Khamis (2015) menjelaskan bahwa perusahaan keluarga memiliki struktur kepemilikan yang terkonsentrasi dan biasanya akan menghasilkan pertentangan antara pemilik saham mayoritas dan minoritas. Dengan adanya konsentrasi kepemilikan, pemilik saham mayoritas memiliki kekuasaan dalam menentukan kebijakan keuangan dan operasional suatu perusahaan sehingga mereka cenderung memperoleh keuntungan pribadi dari aktivitas tersebut. Keuntungan pribadi yang diperoleh adalah salah satunya melalui tindakan pengambilalihan atau ekspropriasi (Claessens et.al, 1999). Ekspropriasi dilakukan melalui transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa (transaksi pihak terkait). Dalam Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 7 tahun 2018 menjelaskan bahwa transaksi pihak yang memiliki hubungan istimewa merupakan transaksi yang dilakukan dengan cara pengalihan sumber daya, jasa atau kewajiban antara entitas pelapor dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa, terlepas adanya harga yang diperhitungkan. Pada beberapa negara berkembang (seperti Indonesia) transaksi pihak yang memiliki hubungan istimewa terkadang dilakukan untuk tujuan oportunistik yaitu berupa pemindahan sumber daya keluar dari perusahaan untuk kepentingan pemegang saham pengendali (mayoritas) dengan mengorbankan kepentingan pemegang saham non-pengendali (minoritas) atau dikenal dengan istilah tunneling (Johnson, Porta, Lopez-de Silanes & Shleifer, 2000).  

Penelitian-penelitian sebelumnya yang menemukan adanya tindakan ekspropriasi melalui transaksi dengan pihak terkait (RPT) dilakukan oleh Hwang & Wang (2013), Pozzoli & Venuti (2014), dan Utama (2015). Tindakan ekspropriasi ini dilakukan oleh direksi perusahaan sebagai pemegang saham mayoritas (pengendali) dengan pihak-pihak yang masih memiliki hubungan istimewa (keluarga) di antara mereka sendiri. Namun, beberapa penelitian juga menyatakan bahwa tindakan ekspropriasi melalui RPT ini dianggap sebagai kegiatan yang sehat dalam memenuhi kebutuhan perusahaan, dan dapat meningkatkan efisiensi melalui pembentukan pasar internal dalam kelompok perusahaan. RPT ini disebut sebagai hipotesis transaksi yang efisien (Friedman et al, 2003; Pozzoli & Venuti 2014; Peng et.al, 2011). Oleh karena itu, para pemangku kepentingan (stakeholder) perlu memperhatikan Transaksi Dengan Pihak Terkait (RPT) sebagai peluang yang dapat menimbulkan tindakan ekspropriasi.

Hasil penelitian Cid, San Martn, & Saona (2022) menemukan bahwa komposisi kepemilikan, ukuran dewan dan kepemilikan saham oleh CEO berhubungan positif dengan tindakan pengambilalihan hak pemegang saham minoritas (ekspropriasi). Namun, hasil temuan Utama (2015) menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan dari komposisi kepemilikan keluarga terhadap ekspropriasi melalui transaksi dengan pihak terkait. Claessens et al. (1999) juga menemukan bahwa tidak ada bukti yang signifikan dari pengambilalihan untuk mengendalikan oleh keluarga dan kontrol yang dipegang secara luas oleh perusahaan. Dalam studi Cravens & Wallace (2001), ditemukan bahwa persentase komisaris independen dan ukuran dewan keduanya memiliki korelasi positif dengan tingkat pengambilalihan hak minoritas pemegang saham. Namun, Santiago dan Brown (2007) menemukan hubungan yang negatif antara ukuran komisaris yang bebas dan pengambilalihan hak minoritas pemegang saham, sementara karakteristik dewan komisaris secara tidak langsung mempengaruhi potensi pengambilalihan hak minoritas pemegang saham.

Selain komisaris independen, variasi (keberagaman) gender dalam dewan komisaris juga dapat membatasi tindakan oportunis dari pihak manajemen dalam membuat keputusan. Adams dan Ferreira (2004) menemukan bahwa kehadiran perempuan di dewan komisaris dapat menahan perilaku oportunis dari pihak manajemen dan mencegah kebijakan yang salah dengan menghindari pembayaran pajak untuk memaksimalkan kepentingan pemegang saham. Hasil penelitian Higgs (2003) yang dilakukan di Inggris menunjukkan bahwa variasi gender dalam dewan komisaris dapat meningkatkan efektivitas kinerja dewan komisaris dan merekomendasikan bahwa perusahaan dapat mendapatkan keuntungan serta manfaat dari peran wanita profesional yang ada dalam dewan komisaris.

Tindakan Ekspropriasi

Dalam konteks keuangan, konflik keagenan dibagi menjadi dua yaitu konflik keagenan tipe I dan tipe II. Konflik keagenan tipe I yaitu konflik antara pihak pemegang saham selaku pemilik perusahaan dengan pihak manajemen selaku agen (pengelola perusahaan). Sedangkan konflik keagenan tipe II yaitu konflik antara pemegang saham pengendali dan pemegang saham non-pengendali yang biasanya menyebabkan adanya tindakan ekspropriasi. Claessen et.al (2000) memperlihatkan terjadinya ekspropriasi dari pemegang saham mayoritas terhadap pemegang saham minoritas dengan menggunakan data perusahaan di Asia. Sedangkan, La Porta et.al (2002), Claessens et.al (2002), Burkart et.al (1998) menyebutkan adanya ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas baik langsung atau tidak langsung. La Porta et al (2000) menyebutkan bahwa eksproriasi secara umum berkaitan dengan konflik keagenan sebagaimana yang didefinisikan oleh Jensen dan Meckling (1976). Tindakan ekspropriasi dapat meningkat jika terjadi entrenchment yaitu tindakan dimana pemegang saham pengendali menggunakan hak kontrol untuk memenangkan kebijakan atas suara pemegang saham minoritas jika antara keduanya tidak terjadi kesamaan sikap (Fan dan Wong, 2002). Perusahaan yang kepemilikannya terkonsentrasi maka manajemen cenderung akan dikuasai oleh pihak anggota keluarga dan dapat membuka peluang bagi insider melakukan lebih banyak ekspropriasi dalam berbagai bentuk seperti kebijakan operasi perusahaan, kebijakan kontrak utang piutang, kebijakan penjualan dan kebijakan pembelian.

Selain itu, Claessens et al (2000) juga menjelaskan bahwa ekspropriasi (expropriation) adalah penggunaan dominasi hak kontrol oleh pemegang saham pengendali untuk mendapatkan keuntungan pribadi guna memaksimumkan kesejahteraan sendiri melalui distribusi kekayaan dari pihak lain. Keuntungan pribadi merupakan manfaat yang diperoleh pemegang saham pengendali melalui dominasi kontrol untuk menentukan kebijakan perusahaan yang menguntungkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline