Lihat ke Halaman Asli

"Sekolahku, Rumahku" by OrcaFilms

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehidupan di sekolah seharusnya menyenangkan bagi para penghuninya, yaitu murid, guru, termasuk orang tua murid. Sekolah hakikatnya merupakan sebuah tempat dimana semua bisa belajar mendapatkan lebih banyak ilmu dari sebelumnya. Ilmu bisa dibagikan dan didapatkan dengan cara apa saja. Tidak hanya melalui buku-buku atau penjelasan teori dari guru, tapi juga dari eksperimen dan pengalaman.

"Learning through experience," dipercaya dapat memberikan nilai atau pengetahuan yang lebih kuat daripada sekedar membaca buku atau mendengarkan guru di depan kelas. Dari sini, siswa dapat lebih banyak melihat, mendengar [sendiri], bahkan 'merasakan' ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari.

Film SEKOLAHKU, RUMAHKU menyajikan kenyataan lain yang mungkin terjadi di lingkungan yang biasa kita sebut sekolah. Sekolah merupakan tempat menyenangkan yang dituju oleh setiap siswa, karena disanalah mereka benar-benar dapat berekplorasi dengan mudah untuk mengerti ilmu yang sedang mereka pelajari. Para pengajar tidak hanya memiliki tanggung jawab sebagai 'pengajar' tetapi juga sebagai 'pendidik' yang tangguh dan penuh pengabdian.

Sebuah Sekolah Dasar di Solo, memiliki murid dari berbagai latar belakang. Mulai dari anak tukang becak & buruh cuci, anak penyanyi dangdut, sampai anak seorang wanita karier. Ketika mereka tiba di sekolah, mereka akan menjadi sama, yaitu anak-anak yang berhak memperoleh pendidikan. Ilmu diberikan melalui banyak cara, misalnya, siswa diminta mengobservasi secara langsung tentang proses pengolahan sampah dari rumah mereka hingga ke TPA [Tempat Pembuangan Akhir], atau siswa langsung menuju pasar terdekat untuk melihat apa saja yang dapat mereka temukan di sebuah pasar tradisional. Mereka diperbolehkan untuk memegang, mengeksplorasi apa yang ada di hadapan mereka.

Setting ruang kelas pun tidak seperti ruang kelas yang kita ketahui pada umumnya [atau ruang kelas jaman saya SD dulu]. Tempat duduk dan meja dibentuk menyerupai huruf U, sehingga setiap siswa dapat melihat teman-teman dan gurunya dengan jelas.

Bagi saya, menyaksikan film ini merupakan pendidikan buat saya. Mengapa? Karena saya bisa belajar bagaimana hendaknya saya menjadi guru yang baik, menjadi orang tua yang baik, menjadi teman yang baik, dan menjadi masyarakat yang baik.

Ketika Fitri mengutarakan keberatannya kepada guru kelasnya, Ibu Niken, mengenai pembagian kelompok yang memberatkannya, Ibu Niken membantu dengan bijaksana. Ia mempersilakan Fitri untuk membicarakan keberatannya itu pada kawan-kawannya. Ia menjadikan Fitri tetap sebagai subyek dalam pemecahan masalah. Ia mempercayai Fitri dapat berdiskusi dan mendapatkan solusi yang terbaik. Walaupun akhirnya Fitri tetap berkelompok dengan teman yang sama, namun dari sini Fitri belajar untuk bisa berhadapan dengan permasalahannya sendiri.

Juga ketika Fitri harus mengembalikan buku Iwan, kawan sekelasnya. Ia tidak tahu rumah Iwan. Ia meminta bantuan dari Ibu Dewi. Guru Bahasa Inggris ini pun tidak lantas membuatnya lega dengan mengambil alih tanggung jawab Fitri untuk mengembalikan buku Iwan, ia memilih untuk membantu Fitri mencari rumah Iwan. Dalam proses pencarian pun, ia tidak menempatkan diri sebagai guru, namun ia sebagai teman yang rela menolong. Ia membiarkan Fitri bertanya kepada masyarakat sekitar dan menemaninya hingga Fitri menemukan rumah Iwan.

Dari hal ini saya melihat peran pengajar yang cukup kompleks, namun penting. Pengajar tidak hanya berdiri di depan kelas menyampaikan teori, tetapi juga merupakan 'pendidik' yang dapat menempatkan dirinya dengan tepat. Memberikan teladan dengan sikap dan tindakan. Apa yang terjadi pada Fitri di atas, mengajaknya untuk berproses bersama menyelesaikan konflik atau permasalahan, akan memberikan pelajaran kehidupan penting baginya.

Menjadi orang tua pun tidak bisa dikatakan mudah. Dalam film ini jelas terlihat peran orang tua murid yang sangat signifikan. Sekolah dan Orang Tua, hendaknya seiring sejalan. Sekolah tidak dapat menjalankan sistem pembelajarannya sendiri tanpa dukungan dari pihak Orang Tua. Jadi, jangan berharap anak-anak kita bisa menjadi cerdas dan pandai tanpa kerjasama ini. Walau bagaimana pun anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu di lingkungan keluarga, bukan di sekolah. Jadi, ketika para orang tua berharap sekolah dapat menjadikan anak mereka menjadi pilot atau dokter di masa depan, itu adalah anggapan yang salah. Yang benar adalah sekolah dan orang tua dapat menjadikan anak mereka menjadi pilot atau dokter masa depan.

Ada proverb Afrika yang selalu saya ingat, "It takes the whole village to raise a child," yang juga merupakan judul buku Hillary Clinton tentang pendidikan anak-anak yang seharusnya di jalankan. Film ini sangat mengingatkan saya pada proverb tersebut. Memang, pendidikan seharusnya menjadi tanggung jawab semua pihak. Bahkan penjual ikan di pasar tradisional pun sebaiknya bisa menjelaskan apa saja yang mereka dagangkan ketika ada yang bertanya pada mereka.

Scene-scene pendek, banyaknya karakter, mungkin ini akan membuat penonton cilik agak sulit mengikuti alur cerita. Konflik yang ditampilkan pada cerita ini juga terasa datar dan kurang menggigit. Menurut saya, mungkin perlu ditambahkan konflik antara teman sekelas, atau teman satu sekolah.

Namun, saya tetap terkesan pada ide cerita yang luar biasa, juga pada para pemain yang hampir semuanya memiliki latar belakang pendidikan. Mereka bukanlah aktor atau aktris terkenal, tapi mereka adalah guru dan kepala sekolah. Sebagian bahkan pernah menjadi guru teladan kota Solo.

Dalam 1 jam 25 menit, SEKOLAHKU, RUMAHKU akan sangat menggugah kita untuk tetap bisa memulai perubahan dengan hal-hal kecil yang bisa kita lakukan saat ini. Jangan hanya menunggu dan berharap. Karena siapa pun kita, kita memiliki peran sangat penting dalam pendidikan.

Semoga ada lebih banyak lagi education movie seperti ini.

"Film yang bagus. Dialognya sederhana tapi cerdas. Di tengah industri film Indonesia yang kelebihan garam, film ini mengobati kerinduan pada film bercitarasa Indonesia." Dedy Purwono, Fakultas Ilmu Budaya UGM

Penata Musik

YUDI HARI PURNOMO

Pengarah Artistik

DESIDERIUS PURJAYANTO

Penata Suara

DIDIK WIRAWAN & SUDI HARTO

Pengarah Fotografi

ADAM HERDANTO

DIAN KRISTIAWAN

Skenario

ADAM HERDANTO

Co-Sutradara

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline