Lihat ke Halaman Asli

Jangan Menyia-nyiakan Harta

Diperbarui: 22 Desember 2016   09:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sumber Daya Alam (tanah)

Jangan menyianyiakan harta

عنأَبِيهُرَيْرَةَقَالَقَالَرَسُولُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَمَنْكَانَتْلَهُأَرْضٌفَلْيَزْرَعْهَاأَوْلِيَمْنَحْهَاأَخَاهُفَإِنْأَبَىفَلْيُمْسِكْأَرْضَهُ. (رَوَاهُمُسْلِمٌ)[1]

  • Artinya: “Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah S.A.W bersabda: Barang siapa memiliki sebidang tanah, hendaklah ia menanaminya, atau memperbolehkan kepada saudaranya (supaya menanaminya), maka apabila ia menolaknya, hendaklah ia menahannya (memeliharanya).”(H.R Muslim).

Hadits di atas menjelaskan bahwa apabila kita memiliki sebidang tanah atau lahan, hendaknya kita menanami sebidang tanah tersebut atau memperbolehkan saudara kita untuk menanaminya.Namun apabila saudara kita menolak maka kita di anjurkan untuk memeliharanya sendiri. Pada intinya Rasulullah SAW mengajak umatnya untuk menanami sendiri lahannya atau menyuruh orang lain mengolahnya apabila tidak sanggup mengolahnya.Hukum Islam juga telah memberikan penegasan bahwa seorang yang memiliki tanah pertanian karena tidak mampu atau tidak mau mengelolanya dilarang untuk menyewakannya.Menanggapi permasalahan sewa lahan ini, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya.Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid menjelaskan bahwa segolongan fuqaha tidak membolehkan menyewakan tanah.

Setiap orang yang mempunyai tanah pertanian dia di haruskan mengelolanya agar tidak menjadi tanah terasebut dapat menghasilkan suatu yang dapat di nikmatinya. Sekaligus juga agar kepemilikan tanah tersebut pertanian harus di kelola, namunpengelolanya haruslah sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’

Hal ini berkaitan dengan pengeola tanah pertanian syara’ telah menetapkan hukum-hukum yang memperbolehkannya dengan cara-cara tertentu sekaligus jyga menjelaskan hukum-hukum yang membolehkan bentuk-bentuk pengelola tanah pertanian sangat banyak mulai dari mengelola sendiri, menyewa orang lain untuk mengerjakan lahannya, serta melakukan berbagai syirkah yang berkaitan dengan pengelola tanah.

Adapun pengelola tanah pertanian yang dilarang untuk melakukan adalah dalam bentuk membagi hasil anatara pemilik lahan dengan openggarap dalam sistem muzara’ah dan mukhabarah serta menyewakan lahan pertanian kepada orang lain.

  • Larangan Bagi Hasil Sistem Muzara’ah dan Mukhabarah

Hukum islam melarang secara tegas pengelola tanah pertanian dengan sistem bagi hasil antara pihak pemilik lahan dengan penggarap yang di sebut denfan muzhara’ah atau mukhabarah. Yang hukum tidak boleh dilakukan menurut hukum islam. Seperti telah di singung di depan saat membahas bentuk-bentuk pekerjaan yang dibolehkan, telah dielaskan bahwa bagi hasil dalam sistem musaqat berbeda dengan bagi hasil sistem muzhara’ah atau mukhabarah.

Dari sini terlihat perbedaan yang nyta antara musaqoh dengan bagi hasil antar pemilik lahan dengan penggarap. Dasar tidak boleh dilakukan bagi hasil tanah pertanian antara pemilik lahan engan penggarap adalah nash-nash hadist yang menunjykkan larangan tersebut. Dalam sebuah riwayat rafi, bin hujaid mengatakan sebagai berikut:

“pada zaman rasulullah saw kita mengharapkan tanah lahan kepada orang lain atas perjanjian bagi hasil” pada suatu hari ia di datangi oleh salah seorang penanamny ayang memberitahu bahwarasulullah saw mlarang suatu perbuatan yang sebenarnya bermanfaat bagi kita.

Hadist di atas telah menunjukan dengan jelas dan tegas akan larangan melakukan bagi hasil tanah pertanian antra pemilik lahan dengan penggarapnya. Namun membolehkan bagi hasil dalam transasksi musaqoa yakni antar pemilik lahan dengan orang yang bekerja menyirami (mengairi) lahan milik pemilik lahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline