Lihat ke Halaman Asli

Linda Erlina

Blogger and Academician

Kebhinekaan Indonesia Tercermin dalam Film "Lima"

Diperbarui: 14 Juni 2018   20:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Poster Film Lima (Sumber: jadwalnonton.com)

Beberapa saat yang lalu, saya dan rekan-rekan blogger mendapatkan kesempatan untuk menonton screening film "Lima" di Djakarta Theater, Sarinah. Film yang berbau "kebhinekaan" ini jelas mengusik saya dengan penuh tanda tanya, akan seperti apa filmnya ya? Akankah memenuhi ekspektasi saya?

Jawaban ini saya dapatkan ketika menonton film Lima yang berdurasi sekitar 110 menit ini. Perlahan, adegan demi adegan merebut perhatian saya dan juga membuat saya mengenang kembali beberapa peristiwa dalam kehidupan saya.

Kisahnya Fara, Aryo dan Adi sedang dirundung duka karena kepergian ibu mereka. Kedukaan mereka rupanya juga diselingi dengan beberapa perdebatan mengenai bagaimana prosesi penguburan jasad mendiang sang ibu. Ibu mereka merupakan seorang mualaf, berpindah keyakinan yang semula protestan menjadi muslim. Fara sendiri mengikuti jejak ibunya sebagai muslim, sedangkan Aryo masih tetap protestan. Fara melarang Aryo untuk mengantarkan jasad ibunya ke liang lahat, karena harus dalam kondisi wudhu. 

Aryo jelas tidak terima dengan keputusan Fara, ia menganggap bahwa sebagai anak laki-laki tertua, ia wajib untuk mengantar sang ibu ke tempat peristirahatannya yang terakhir sebagai wujud baktinya. Perdebatan ini akhirnya menemui solusinya, Aryo diperbolehkan untuk memenuhi keinginannya. Prosesi pemakaman berlangsung dengan baik dan lancar, pihak saudara dari aayah dan ibu yang berbeda keyakinan (protestan dan islam) juga tergambarkan dengan sangat rukun dan penuh dengan toleransi.

Setelah kepergian sang ibu, mereka menjalani kehidupan mereka masing-masing seperti biasa. Fara kembali melatih atlet renang, Aryo kembali ke distro, dan Adi juga kembali bersekolah. Ternyata kehidupan tidak semulus yang mereka duga. Fara mengalami pergolakan batin ketika ia harus memutuskan siapa atlet renang yang berhak maju ke ajang Asian Games 2018, sementara ia sendiri sangat menentang keputusan dari atasannya yang "memaksa" untuk memasukkan atlet yang merupakan "pribumi". Fara memilih untuk objektif, ia tidak suka ketika urusan profesionalitas dicampuradukkan dengan masalah ras dan warna kulit. 

Lain halnya dengan Aryo, yang juga mengalami masalah dengan rekan kerjanya di distro, selisih pendapat membuat Aryo akhirnya harus berhenti dari distro usaha yang juga dibangunnya sendiri bersama rekannya itu, Aryo pun mengalami masa sulit ketika kehilangan pekerjaannya. Begitupula dengan Adi, kehidupannya sebagai siswa SMA rupanya tidak berjalan dengan lancar. Pergaulannya dengan teman-temannya tidak seperti remaja lain yang mengalami pertemanan yang menyenangkan. Adi seringkali di-bully oleh teman-temannya karena ia cenderung tertutup dan terkesan sebagai "anak mama". 

Hingga suatu hari ia terlibat dalam pengejaran seorang pencuri di rel kereta. Pencuri tersebut tertangkap dan dihakimi ramai-ramai oleh para lelaki yang mengejarnya, salah satunya adalah teman sekelasnya. Pencuri tersebut memohon ampun atas buku yang dicurinya, buku tersebut akan diberikan kepada adiknya. Adi berusaha untuk mencegah main hakim sendiri tersebut lebih jauh, namun ia sendiri kena pukul oleh para lelaki itu. Sadisnya lagi, main hakim itu berujung pada pembakaran sang pencuri buku. Tidak hanya kakak beradik yang mengalami masalah, ternyata Bi Ijah pun juga mengalami masalah ketika anaknya tertangkap ketika "ketahuan" mencuri 3 buah coklat milik sebuah perusahaan perkebunan coklat di daerah mereka tinggal.

Mampukah Fara memperjuangkan idealismenya untuk memilih atlet renang yang akan maju ke Asian Games 2018 secara objektif? Apakah Aryo dan Adi mampu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi? Bagaimana prinsip keadilan yang diterima oleh anak Bi Ijah yang tertangkap ketika mencuri buah coklat? Kamu penasaran? Nah, boleh ya diajak keluarganya, teman, sahabat dan kekasihnya untuk nonton film Lima ini ya.

 Saya memberikan nilai 8.5 dari 10 untuk film ini. Akting para pemainnya sangat bagus, terutama kakak beradik yang diperankan oleh Prisia Nasution (sebagai fara), Yoga Pratama (sebagai Aryo) dan Baskara Mahendra (sebagai Adi). Saya merasakan bagaimana feel ketika mereka mengalami kekalutan saat berdebat mengenai prosesi penguburan sang ibu karena berbeda keyakinan. Saya juga merasakan "hawa" kebersamaan yang tercipta antara kakak beradik dengan Bi Ijah yang sudah menjadi asisten rumah tangga mereka dari mereka kecil sampai akhirnya Bi Ijah memutuskan untuk berhenti dan pulang ke kampung saat Ibu kakak beradik ini tiada. 

Nilai-nilai pancasila tersirat kuat pada film ini, mengenai bagaimana implementasi nilai ketuhanan, keberagaman, keadilan dan kemanusiaan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Film Lima ini sungguh menggambarkan Bhinneka Tunggal Ika yang sesungguhnya. Saya merekomendasikan agar film ini ditonton, agar kita semua dapat merasakan betapa indahnya bersatu dan toleran dalam keberagaman terutama di Indonesia yang memiliki berbagai macam keyakinan, ras, suku dan budaya. Terima kasih kepada pihak penyelenggara dan koordinator blogger (Mba Wawa) yang memberikan kesempatan nobar film Lima ini.

Buat kalian belum nonton mungkin boleh dikepoin dulu trailernya di sini:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline