Lihat ke Halaman Asli

Linda Erlina

Blogger and Academician

Antibiotik Sang Penyembuh Segala Penyakit: Mitos atau Fakta?

Diperbarui: 14 November 2017   02:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Antibiotik (daily-sun.com)

Antibiotik merupakan obat yang paling akrab di telinga kita. Betapa tidak, obat ajaib ini dipercaya mampu menyembuhkan banyak penyakit, mulai dari pilek, batuk, panas, gatal-gatal, diare, sakit perut dan masih banyak lagi.

Namun benarkah anggapan kita selama ini tentang antibiotik? Apakah selamanya antibiotik menjadi penolong ataukah dapat berbalik menjadi bumerang bagi si pengguna? Sebagai salah satu tenaga kesehatan di bidang farmasi (obat-obatan), saya merasa terpanggil untuk sedikit berbagi dan mengulas mengenai antibiotik berdasarkan sisi mitos dan faktanya.

Yuk kita bahas mengenai obat (yang katanya) multitalenta ini satu per satu:

Antibiotik merupakan obat antivirus --> MITOS.

Pada dasarnya antibiotik merupakan antibakteri bukan antivirus. Selanjutnya tentu akan timbul pertanyaan lanjutan, kenapa ya kalau batuk pilek kadang kok dokter meresepkan antibiotik juga? Sebelumnya kita harus paham dulu kalau virus influenza itu memiliki batas waktu kerja dalam tubuh kita dan disertai dengan istirahat, pola makan bergizi akan mempercepat virus ini kabur dari badan kita.

Sayangnya virus influenza ini bandel sekali, menyebabkan timbulnya gejala lain yaitu pilek dan batuk. Nah pilek dan batuk ini disebabkan karena bakteri punya kesempatan menyerang tubuh kita bersamaan dengan virus flu saat kondisi kekebalan tubuh sedang berkurang. Oleh karena itu pada kasus flu yang berat antibiotik dibutuhkan untuk mengurangi keparahan gejala batuk dan pilek.

Antibiotik boleh tidak dihabiskan asal pasien sudah sembuh --> MITOS.

Antibiotik berbeda dengan obat lainnya yang apabila gejalanya sudah berkurang atau sembuh maka penggunaannya dapat dihentikan kapan saja. Antibiotik memiliki waktu kerja untuk membombardir pertahanan bakteri tubuh kita sampai tuntas. Umumnya antibiotik dianjurkan dihabiskan dalam waktu 3 hari. Kenapa ya? Kok 3 hari? Sebagian besar antibiotik bekerja dengan cara merusak dinding sel bakteri dan menghambat pembentukan badan bakteri.

Kita analogikan bila bakteri itu merupakan segerombolan penjajah, maka antibiotik merupakan tentara pelindung negara. Pasukan antibiotik dibutuhkan dalam jumlah yang cukup setiap harinya untuk dapat melawan si bakteri penjajah. Apabila seseorang mengonsumsi antibiotik hanya 2 atau sehari saja, kalihatannya bakteri penjajah sudah kalah, padahal mereka sudah merancang strategi pertahanan baru agar mereka tidak terkalahkan di kemudian hari.

Semakin sering antibiotik tidak dihabiskan dalam rentang waktu sesuai anjuran dokter, maka semakin lengkap persenjataan si bakteri penjajah, maka dengan strategi tentara antibiotik yang selalu sama akan mudah terbaca dan ditangkis oleh bakteri penjajah. Akibatnya, tentara antibiotik akan dikalahkan oleh si bakteri penjajah. Kondisi ini yang dinamakan resisten terhadap bakteri atau bakteri yang sudah kebal. Kalau bakterinya sudah tidak terkalahkan, kita sendiri yang repot kan? Sebagai tambahan ada antibiotik yang digunakan pada misalnya bakteri TBC yang harus dikonsumsi rutin selama 2 tahun, jadi lamanya penggunaan antibiotik akan disesuaikan dengan jenis bakteri dan penyakitnya.

Antibiotik yang masih sisa kemarin sakit masih dapat digunakan pada diri sendiri, keluarga maupun orang lain --> MITOS.

"Si udin sakitnya sama tuh kayak kemarin, badannya panas ada diarenya juga. Udahlah kite kasih aja obat antibiotik sisa kemarin punya dia. Nanti juga sembuh lagi." Dari percakapan di atas, tentunya tak asing bagi kita. Sisa antibiotik yang semula menyembuhkan bisa kita gunakan kembali untuk sakit yang sama. Hayooo, apakah benar demikian ya? Eits tunggu dulu, pada poin sebelumnya sudah kita bahas, bahwa penggunaan antibiotik harus tepat waktu dan dihabiskan. Jika sudah terlanjur lupa dihabiskan, apakah boleh sisa obatnya digunakan kembali ya? Hal ini tentu saja tidak diperkenankan, mengingat dosisnya yang sudah berkurang dan tidak sesuai anjuran dokter.

Penggunaan sisa antibiotik juga tidak diperkenankan untuk digunakan pada diri sendiri, apalagi pada orang lain baik keluarga maupun tetangga. Niat sih boleh saja menolong orang lain, namun kita perlu menggunakan dan memastikan peredaran obat ini secara bijak juga ya. Pembagian atau penggunaan antibiotik sisa tanpa resep dokter sangat tidak dianjurkan yak karena antibiotik adalah obat yang dikeluarkan atas arahan dan resep dokter.

Antibiotik sama seperti obat bebas yang dapat dibeli di apotek kapan pun dan dimana pun --> MITOS.

Hal ini sudah kita bahas sebelumnya dan sudah cukup jelas bahwa saatnya kita menjadi pasien yang cerdas dan bijak. Kita harus menyadari bahwa masih banyak apotek yang dapat memberikan antibiotik secara bebas tanpa resep dokter. Jika masing-masing individu telah menyadari hal ini, maka kita dapat mengurangi angka peredaran antibiotik "tanpa resep".  

Antibiotik merupakan obat yang manjur untuk semua penyakit --> MITOS.

Antibiotik banyak digunakan pada berbagai penyakit, namun hal ini bukan berarti antibiotik "manjur" ke semua penyakit. Inilah pentingnya memeriksakan kondisi penyakit terlebih dahulu ke dokter. Antibiotik sendiri digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu antibiotik untuk bakteri spesifik gram negatif atau positif atau antibakteri berspektrum luas untuk bakteri gram positif dan negatif.

Perbedaan jenis bakteri pada berbagai penyakit menyebabkan antibiotik yang juga beragam, misalnya untuk bakteri penyebab sakit perut digunakan trimethoprim dan sulfametoksazol atau contoh lainnya antibiotik yang banyak digunakan adalah turunan penisilin yaitu amoksisilin.

Alergi antibiotik dapat membahayakan kesehatan bahkan mengancam jiwa --> FAKTA.

Alergi antibiotik merupakan kasus dimana tubuh seseorang mempunyai reaksi penolakan terhadap zat antibiotik yang dikonsumsi. Sangat dianjurkan untuk melakukan tes alergi terlebih dahulu untuk jenis antibiotik baru dan kenali efek samping obat yang berbeda atau terasa lebih berat dari apa yang tercantum pada kemasan obat.

Alergi antibiotik dapat terjadi pada beberapa orang dengan intensitas ringan, sedang sampai berat. Apabila merasakan gejala efek samping yang aneh dari obat misalnya mengalami sesak nafas, muntah, kejang, atau gejala lain yang malah memperparah kondisi, sebaiknya segera menghentikan penggunaan obat tersebut dan kembali berkonsultasi dengan dokter.

Antibiotik generik kualitas dan kemampuan penyembuhannya lebih jelek dari antibiotik merk paten --> MITOS.

Anggapan bahwa obat generik berkualitas jelek dan kemampuan penyembuhannya payah dibandingkan dengan obat paten, adalah sebuah kekeliruan. Adapun obat generik dan paten memiliki isi kandungan zat aktif obat yang sama dengan indikasi yang sama. Semua obat paten awalnya memiliki masa produksi selama 20 tahun oleh industry yang pertama kali menemukan atau mengembangkan obat tersebut. Pada proses penemuan dan pengembangan obat dibutuhkan biaya yang sangat tinggi untuk proses uji pre klinik dan kliniknya.

Setelah obat lulus uji pre klinik dan klinik, barulah obat tersebut dinyatakan aman dan hanya boleh diproduksi oleh industry tersebut sampai batas waktu 20 tahun. Saat masa obat paten habis 20 tahun, inilah saatnya terbuka kesempatan bagi industry lain untuk membuat obat kopi (generik) dengan zat akttif yang sama untuk indikasi yang sama. Proses pembuatan obat generik tidak melibatkan uji pre klinik dan klinik lagi sehingga biaya produksi yang diperlukan jauh lebih kecil. Oleh karena itulah obat generik harganya lebih murah daripada obat paten.

Resistensi antibiotik sangat berbahaya --> FAKTA.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada poin nomor 2, resistensi yang menyebabkan bakteri menjadi lebih kuat harus kita waspadai. Kenapa begitu? Bakteri yang kuat dan kebal ini akan menyebar lewat lingkungan, sehingga apabila orang lain yang terkena bakteri yang sudah kebal ini tidak dapat diobati dengan dosis atau jenis antibiotika biasa lagi. 

Standar pengobatan antibiotika adalah pemberian dosis yang rendah terlebih dahulu, apabila sudah tidak mempan maka dosis akan dinaikkan. Dosis antibiotik yang tinggi dapat mengakibatkan akumulasi metabolit sisa pencernaan obat yang beracun dalam tubuh. Saat dosis yang sudah dinaikkan masih belum mampu mengatasi infeksi bakteri, maka selanjutnya adalah penggunaan antibiotik jenis baru. Seiring berjalannya waktu penggunaan banyak jenis antibiotika akan menjadikan bakteri tersebut multiresisten. Kondisi paling berbahaya adalah ketika seseorang yang mengalami infeksi multiresisten yang sudah tidak mampu lagi diobati dengan seluruh jenis antibiotik, maka dapat berujung pada kematian. Ihh, serem banget kan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline