Suatu siang, anak-anak Sekolah Dasar di kawasan Binjai Sumatra Utara menyembulkan wajah mereka dari sela jeruji jendela kelas. Riang, berbinar, dan penuh gelora. Dari halaman depan sekolah, saya bertanya setengah berseru, “Kalian kelas berapa?. Jawab mereka, serempak, “Kelas satuuuuuu!”. “Nama sekolah ini apa ya?”, tanya saya lagi. “Sekolah Dasar Tede Pardedeeeeeee…!”, jawab mereka dengan penuh semangat dan tawa berderai. “Bagus sekolah kalian? Senang sekolah di sini?”, tanya saya kembali. “Baguuuuuussss…. , senaaaaaang!”, teriak mereka bersamaan. Senyum lebar, tatapan mata yang penuh semangat dan cita-cita, sucinya kanak-kanak, menyembur demikian terasa. Kata ‘TD Pardede” demikian meluncur deras dari mulut mungil. Di mana-mana, di mana saja, nama lelaki berdarah Sumatra Utara itu muncul dari berbagai kalangan. Pegawai hotel, sopir, acapkali meluncurkan pujian bagi nama besar di daerah mereka. Anak-anak manis dan cakep itu, tentu tak sempat mengenal nama orang yang menjadi nama sekolah mereka. Jasanya pada masyarakat banyak, ternyata tetap berjejak hingga kini. Tumpal Dorianus Pardede, lahir 16 Oktober 1916 di Balige, Tapanuli Utara. Anak piatu yang ditinggal sang ayah, Willem Pardede saat ia masih berusia lima tahun, membuat dirinya hidup dalam segala perjuangan. Secara finansial dan kekuatan batin, sang paman, J. Tambunan tak luput turun tangan, sehingga sang Ibunda, Toing Johanna boru Tambunan terbantukan.
Hidup si anak kecil ini tak lepas dari pendidikan di sekolah serta agama di rumah maupun di gereja. Itulah yang sehari-hari asupan yang diberikan oleh ibunda, seorang Kristiani yang taat. Selebihnya, ia menghabiskan waktu dengan bermain dengan anak-anak Balige sebayanya, dan mondar-mandir masuk ke pasar. Di situlah TD Pardede mulai mengamati transaksi jual beli dan cara orang berdagang. Semua diserap begitu saja, sehingga suatu hari ia berketetapan untuk turut berdagang bersama mereka. Modal diperoleh dari ibu, dan ia menjual kebutuhan makanan, kelontong, hingga gula pasir. Kecil-kecilan, tapi ada hasil keuntungan yang diperoleh setiap hari.
Perjalanan nasib manusia ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa seorang TD Pardede yang tak bersekolah tinggi, akhirnya bisa menjadi seorang pengusaha terkenal yang bisnisnya merambah ke mana-mana, bahkan ia memperoleh gelar kehormatan ‘doktor’ (Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Ekonomi dari Universitas Takushoku Jepang). serta sempat menjadi Menteri Berdikari pada zaman Sukarno berkuasa di tahun 1965? Semua tentu karena berkah Tuhan yang melekat pada pria ini. Meski hanya sebentar menjadi seorang menteri karena sejarah Indonesia bergeser dengan munculnya peristiwa G 30 S PKI, TD Pardede tak bergeming dari cita-cita awalnya untuk tetap bekerja keras memajukan kegiatan industri nasional. Pangkat jabatan baginya hanya titipan. Dan niat baik kepada banyak orang harus selalu dijalankan, meski tanpa embel-embel jabatan menteri sekalipun. TD Pardede melihat banyak sekali keturunan Cina yang maju, bekerja secara ulet dan bisa menguasai perdagangan setempat. Maka ia pun gigih meniru dengan segala ketabahannya. Tanah lapang di kawasan Bantam ia dirikan usaha tekstil, yang mulai berkiprah dengan 40 pegawai pada tahun 1953. Sepuluh tahun setelah itu, pegawainya sudah mencapai 3000 orang. “Pertekstilan TD Pardede” berkembang pesat dengan merk yang ia tempel di hasil produksinya, “made in Indonesia”. “Sejak dulu, ayah sudah nasionalis sekali. Ia begitu mencintai negeri ini dan ingin agar kita menjadi bangsa yang kaya, maju dan dikenal oleh bangsa lain,” Ujar Indri Pardede, putri bungsu TD Pardede. Tak hanya itu, lelaki yang selalu berpakaian necis dan dipanggil orang ‘Pak Katua’ itu mulai merambah bisnisnya ke bidang perikanan. Ratusan nelayan penangkap ikan dan udang di sepanjang pantai Sumatra Utara dan pantai Aceh Utara dan Timur, ditampung, diberi penghasilan tetap yang memadai. Hongkong, Jepang, dan tempat-tempat lain adalah sasarannya untuk menjual produk dalam negeri Indonesia. Perkebunan karet di derah Sukaramai, perkebunan getah perca di Aek Boru kawasan Rantau Parapat Labuhan Ba berada di atas lahan 2000 hektar. Di dampingi Hermina Napitupulu istri terkasihnya, dan ke sembilan putra putrinya, Pak Katua berjalan memajukan negerinya sambil tak lepas dari ibadah yang selalu ia ingatkan kepada keluarganya. Mondar-mandirnya orang asing yang berada di seputar Sumatra Utara membuka mata Pak Katua untuk juga membangun industri pariwisata. Maka dengan modal nekat dan pertama kali mendapat cemooh banyak orang, ia mendirikan hotel-hotel di Parapat, Medan, bahkan di Jakarta.
Orang-orang yang sempat mengenalnya mengatakan, tampilan Pak Katua agak garang, namun hatinya amat lembut. Semua jelas terbukti dari caranya memperhatikan kesejahteraan pegawainya. Di atas lahan 40 hektar yang diisi dengan pabrik tekstil, percetakan, lapangan bola, ( Pak Katua memiliki organisasi sepak bola ‘Kesebelasan Pardedetex’), sengaja ia lengkapi pula dengan perumahan pegawai yang nyaman. Mereka dipersilakan tinggal di sana dengan sarana listrik air gratis, sekaligus dibangunkan sekolah bagi anak-anak mereka dengan cuma-cuma pula. Suasana yang asri membuat orang betah berlama-lama, apalagi memiliki kediaman di kawasan bebas polusi itu. Pepohonan rimbun, pohon palem yang tinggi, rumput luas, taman untuk bermain, dan klinik. Semua adalah konsep Pak Katua untuk kenyamanan orang-orang yang sehari-hari membantu bisnisnya.