Lihat ke Halaman Asli

Ketika Soeharto Mundur di Depan Saya

Diperbarui: 21 Mei 2021   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Soeharto saat mengumumkan pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998. (KOMPAS)

Kamis pagi, 21 Mei 1998. Istana Merdeka masih lengang. Saya masuk ke ruangan tengah. Baru beberapa staf istana mondar-mandir. Lalu datang beberapa teman, kru dari TVRI. Media elektronik lain belum ada. Mereka menyiapkan kabel, lampu dan tongkat kamera panjang di pinggir kiri.

Kata saya, "Ngapain kamu cari tempat di pinggir? Kenapa nggak di tengah?". Lalu salah satu teman menjawab, "Ya sama saja kan Lin". "Apanya yang sama? Hari ini luar biasa. Ini bukan pengumuman biasa. Lurah (kami menyebut pak Harto selalu dengan kata 'lurah') mau mundur lho!", jawab saya. "Hah? Apa iya Lin? Kamu jangan main-main!", celetuk salah satu wartawan cetak yang baru saja muncul.

Saya agak heran, bagaimana mungkin wartawan televisi yang namanya TVRI yang selalu mendapat porsi terbesar dalam pemberitaan bisa tidak tahu akan ada hal 'seram' pagi itu.

Sebelumnya, malam pukul dua pagi saya menelepon Pertiwi Hasan, istri Bob Hasan. "Betul ya tante, Pak Harto besok mau mengundurkan diri?". Suara dari seberang terdiam. "Aduuuh Lin..., tante takut salah ah! Nanti si Oom marah lho. Tante nggak berani jawab ah!", ujarnya.

Jawabannya yang serupa itu sudah membuat saya paham situasi yang sesungguhnya. Pasti akan mundur! Istri Bob Hasan sudah saya kenal sejak saya masih balita. Saat Bob Hasan masih bujangan, ia selalu muncul di rumah kedua orangtua saya. Masih menyetir mobil sendiri, dan makan minum seenaknya di rumah. Pertiwi si pramugari yang betul-betul jelita, sibuk belajar cara menanak nasi dengan langseng (dulu belum ada rice coocer) yang dipandu oleh ibu saya, saat menjelang ia akan menikah dengan pacarnya, Bob, yang sudah tahun-tahunan itu.

Saya kecewa dengan jawaban Pertiwi saat itu. Takut benar dia untuk berterus terang. Beberapa jam sebelumnya saya dihubungi salah satu staf kantor suami saya di Bandung. "Bu Linda, besok Pak Harto mundur, lho. Wartawan istana sudah tahu belum?". Pertama saya pikir, lancang betul pegawai suami saya berkata begitu. Namun sebutir nasip un terjatuh di lantai, tak boleh diabaikan oleh wartawan yang harus selalu bertelinga panjang. Hebat juga ini orang...., kerjanya mengelola hotel suami saya, tetapi urusan politik ia bisa tahu lebih dahulu. Maka itu saya langsung menghubungi istri Bob Hasan tengah malam buta, karena saya tahu persis pasti sang suaminya tak akan berterusterang kepada saya.

Seminggu sebelumnya saya memang menghubungi Bob Hasan via telefon. "Kan Oom Bob sangat dekat dengan si lurah. Sudah lah, bujuk dia mundur saja. Sahabat yang baik adalah orang yang bisa menasihati, bukan malah jeblosi lho Oom", ujar saya setengah lancang. Dan saya ingat sekali kata-kata Bob Hasan ketika itu, "Kamu bayangkan kalau negeri ini nggak dipegang dia, nanti kayak Yugo lho.. bisa jadi 16 bagian pecah-pecah. Saya seram lho Lin! Dan ke depannya, bagaimana ya? Persatuan kesatuan Indonesia yang luas ini bisa lepas lho satu-satu!".

Saya tercenung menyimak kata-katanya. Ngeri memang kalau membayangkan apa kata si konglomerat ini. Tapi saya masih menjawab dengan seenaknya, "Itu kan kata elo, Oom! Bukan kata rakyat!!". Dan Bob Hasan tertawa pelan. Hambar dan terasa was-was.

Beberapa hari saat keributan, jalan Cendana sudah super sibuk pagi sore siang apalagi malam. Saya bersama teman-teman wartawan yang bertugas di Istana tahun-tahunan berjaga-jaga di Cendana. Tentu tidak boleh masuk ke dalam rumah. Sesekali saya lihat Tutut mondar-mandir di ruang keluarga, dengan raut muka tegang. Kerudungnya sudah melorot ke bahu. Tiap tamu yang datang kami perhatikan dari halaman depan yang beraspal itu.

Usai maghrib saya melihat ada mobil Volvo Azwar Anas masuk. Bersama seorang wanita bersanggul, bertubuh mungil dan berwajah tegang. Saya hampiri setelah mereka turun mobil. "Ini siapa Oom, urusan apa bawa perempuan ini? Tante ada di rumah, kan? Lalu, ini siapa? Mau ketemu pak Harto?". Tampak Azwar Anas kagok dan agak panik saya tanya seperti itu.

Orang ini bersama istrinya adalah teman bermain golf ayah ibu saya sejak lama. Jadi saya memang sudah kenal sejak ia belum menjadi Menteri Perhubungan. Pulangnya, Azwar Anas tidak bersama ibu itu lagi. Lha, ke mana dia? Otomatis pikiran saya melayang ke pintu-pintu di belakang rumah Cendana yang bisa menembus ke rumah Tommy, Tutut maupun Bambang. Tentu si ibu itu tidak akan melewati pintu yang ada banyak wartawan lagi. Segera saya lacak lewat sumber-sumber canggih saya di dalam rumah Cendana. Belakangan baru saya ketahui orang itu bernama Leni--seorang paranormal asal Kalimantan. Beberapa tahun lalu Leni wafat karena penyakit gula yang cukup parah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline