Rawa Sirai, adalah rawa yang memiliki panjang hingga ratusan kilometer. Konon katanya, di dalam rawa tersebut terdapat sebuah kota yang besar dan berpenduduk padat. Kota tersebut bernama Tadika. Penduduk kota Tadika hidup rukun dan damai. Tahun ini, kota Tadika dipimpin oleh seekor harimau yang bijaksana, yang diberi julukan Sang Maharaja.
Dalam pemerintahan Sang Maharaja, masih terdapat satu keluarga tupai yang miskin. Namun keluarga tersebut tetap bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak pasrah dan tidak pernah meminta belas kasihan kepada Sang Maharaja, sehingga Sang Maharaja tidak pernah mengetahui tentang mereka.
"Ayah, kenapa lemari penyimpan makanan kita selalu kosong?" tanya Reka, anak sulung dari keluarga tupai yang miskin.
Ayah tupai mendekati anak sulungnya, kemudian mengusap lembut kepalanya.
"Karena kita bekerja hari ini, untuk makan esok hari, Nak! Dan kita bekerja esok hari, untuk makan lusa!" kata ayah tupai, yang mencoba memberi penjelasan kepada Reka, si anak sulung yang masih balita.
"Kenapa tidak seperti teman-temanku yang lain? Mereka menyimpan banyak makanan di lemari penyimpan makanan. Ayah tidak mau bekerja keras seperti ayah teman-temanku, ya?" sahut Reka, sambil mengedipkan matanya untuk menahan air mata supaya tidak jatuh.
Ayah Reka mengusap air mata Reka, kemudian menggendongnya dan sesekali mengayun pelan tubuh Reka.
"Nah, ayah bekerja keras setiap hari untuk bisa memenuhi kebutuhan kita. Reno, adikmu yang masih bayi perlu susu. Sedangkan kamu, perlu makan makanan bergizi supaya tubuhmu tetap sehat dan kuat. Hingga kamu bisa tetap rajin belajar dan kelak menjadi anak pintar. Jika kamu pintar, kamu akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari ayah," kata ayah Reka yang terus dan selalu berusaha memberi penjelasan kepada Reka.
Reka tersenyum, kemudian meminta turun dari gendongan sang ayah.
"Kalau begitu, aku bantu ayah bekerja setiap hari, ya? Pasti kita akan dapat uang lebih banyak, lalu bisa membeli makanan yang banyak pula untuk disimpan di lemari penyimpan makanan. Supaya tidak kosong terus!" pinta Reka, sambil memegang erat tangan ayahnya.
Ayah Reka memcium ubun-ubun Reka, kemudian menggandeng Reka untuk ke luar rumah. Di teras rumah yang sederhana dan berpenerangan remang, mereka bisa menyaksikan sinar bintang yang cukup terang. Sesekali Reka menghitung bintang yang paling bersinar terang. Kadang Reka salah, tetapi sang ayah membenarkan dengan penuh kesabaran.