Lihat ke Halaman Asli

Redupnya Sebuah Lentera Jati Diri Bangsa

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Banyak campur tangan manusia disini. Setidaknya, tidak hanya segelintir orang yang mengetahui, betapa perihnya untuk menuju pucuk dari sebuah pohon. Memerdekakan seorang budak memang bukan perkara gampang, apalagi memerdekakan sebidang tanah lapang yang berisikan lautan manusia-manusia bodoh yang tak mempunyai pedoman untuk pegangan.

Seperti halnya tanah air ini yang dulunya pernah menangis perih akan kebrutalan-kebrutalan para mafia yang memang tak berbudi dan tak bernurani. Maka dari itu, berterima kasihlah kepada manusia-manusia yang setidaknya masih memiliki secuil keberanian untuk mengubah sebuah gunungan kegalauan menjadi jalanan lurus menuju titik terang.

Dan sekarang sebuah peradaban baru sudah dimulai. “Peradaban baru?” Ya, memang peradaban baru yang sebenarnya adalah peradaban yang dulunya pernah ada dan terkubur oleh peradaban yang pernah ada pula. Dan kemudian muncul kembali untuk menggantikan peradaban yang memang sudah patut digantikan dan tidak layak untuk diperjuangkan.

Hasil perjuangan Mereka inilah yang bisa kita rasakan sekarang. Merasakan apa yang sebelumnya tidak pernah dirasakan oleh Mereka yang sakit, pahit, perih yang hanya untuk memperjuangkan sebidang tanah. Dan bukan menghadiahkan kepada kita sebagai penghuni tanah wakaf yang diwakafkan oleh para pendahulu kita ini, tetapi ini semua diperjuangkan oleh dan dihadiahkan kepada Mereka yang sudah meremukkan tulang-belulang Mereka demi terkibarnya rajutan benang-benang yang terhimpun dalam selembar kain berwarna merah putih.

Ketidakmampuan kita akan membalas apapun yang dilakukan orang-orang terdahulu adalah cacat permanen. Sebisa mungkin kita harus menghilangkan cacat tersebut, menghilangkan kebiasaan berpangku tangan. Perlu diingat kembali!! Bahwa, apapun yang kita rasakan sekarang ini bukanlah hadiah buat kita. Tetapi, bencana yang berakibat lebih dahsyat dari meletusnya Gunung Krakatau, 130 tahun yang lalu. Suatu bencana besar yang terlebih-lebih akan menjauhkan kita terhadap pencarian dan berlanjut kepada pengukuhan jatidiri bangsa yang sesungguhnya.

Apa yang harus kita perbuat ke depan setelah dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Budi Utomo nya, H. Samanhudi dengan Sarekat Islam nya, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah nya, Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa nya, K.H. Hasyim Asyari dan Ulama-ulama di pulau Jawa yang lain dengan Nahdatul Ulama nya, dan para tokoh lainnya yang mempunyai peran penting dalam kemerdekaan maupun bereformasinya bangsa untuk meninggalkan kejumudan dan keramnya otak para pemuda bangsa.

Apakah kita harus menunggu datangnya “kembali” para kolonialis? Mungkin benar pernyataan seperti itu, supaya kita merasakan apa yang Mereka rasakan. Tetapi apakah pantas dipandang dan didengar, jika itu memang benar adanya sekarang. Sepatutnya kita jangan seperti menunggu durian runtuh, yang hanya duduk manis menunggu di bawah pohon tanpa ada pergerakkan yang benar-benar memang dapat menggerakkan yang setidaknya dapat berefolusi walupun sedikit.  Dan akhirnya seperti apakah sosok reformis yang kita butuhkan sekarang yang dapat merubah perspektif kita terhadap apapun yang kita lakukan sekarang, untuk berubahnya suatu sistem yang benar-benar menuju satu titik yakni jatidiri bangsa yang sesungguhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline