Setelah gagal memenangkan Pilkades di desa Gandul Sari empat tahun lalu, berbagai cara dicoba oleh paslon Prawoto (Woto), untuk memenangkan jabatan kades kali ini.
Juki, kades petahana saingannya, adalah lawan yang cukup berat. Walaupun sebelumnya, Juki adalah hanya seorang pembuat kusen kayu, tapi Juki sukses membangun desa. Juki sudah memiliki banyak kerjasama dengan pengusaha-pengusaha yang punya banyak modal dari luar desa.
Ada babah Liong pemilik toko material dari Sentiong, ada Salmin, turunan Arab Pasar Baru yang punya toko kain, kang Mail pedagang buah yang biasa jualan dari pasar Rebo. Mereka membuka toko di desa. Juki mengizinkan mereka buka toko di desa dengan syarat babah Liong, Salmin dan Mail harus memberikan pinjaman atau kerjasama untuk membangun jalan, jembatan dan pasar desa.
Karena adanya pasar, desa Gandul Sari yang dulu sepi kini menjadi ramai dengan berbagai usaha. Jalanan ramai karena ada pasar, pasar rame karena usaha angkot jalan. Bahkan jembatan gantung yang dulu sering ditunggui para preman yang suka memalaki orang yang nyebrang, sekarang menjadi jembatan bagus yang bisa dilewati motor dan mobil. Pajak desa lancar dari hasil kerja Juki.
Masyarakat desa sangat antusias, sehingga dukungan dari masyarakat desa kepada Juki sulit untuk dikalahkan. Apalagi saat ini, Juki mengambil wakades Sharukh Khan, yang dikenal sakti mandraguna.
Woto sebagai salah seorang calon kades melihat bahwa Juki merupakan lawan yang cukup berat. Berbagai siasat diupayakan Woto dan kubu pendukungnya untuk dapat mengalahkan Juki Pilkades kali ini. Siasat pertama, Prawoto merangkul Eno untuk menjadi calon wakadesnya. Woto tahu, beberapa kubu pendukungnya akan kaget saat Woto menunjuk Eno sebagai cawakadesnya. Tapi Woto tetap melaksanakan niatnya.
Woto sangat penuh perhitungan. Maklum. Karena Woto memang masih salah satu anggota keturunan demang desa yang dulu sangat berpengaruh, disegani dan kaya raya, sehingga sangat piawai dalam permainan politik.
Woto kemudian merangkul Eno yang diketahuinya masih muda, cukup tampan, memiliki cukup banyak uang, dan memiliki ambisi besar. Woto tahu, Eno akan rela melakukan hal-hal yang "ajaib", dan tanpa malu demi memenangkan ambisinya. Woto juga berhitung, merangkul Eno, berarti Woto memiliki energi tambahan untuk meraih suara masyarakat desa.
Woto memanggil Eno, meminta agar Eno menyiapkan padi sebanyak 5000 karung agar Woto bisa menunjuk Eno menjadi cawakades. Pada saat yang sama. Woto meminta pendukungnya memberikan gelar "kanjeng sakti" kepada Eno. Woto memperhitungkan, pemberian gelar "kanjeng sakti" akan membuat Eno berasa naik ke awang-awang.
Sayangnya, baik Prawoto dan Eno sama-sama tidak memiliki kesaktian. Jangankan bertapa di gunung "Kencana", puasa "ayakan" aja masih suka pura-pura cuci muka, supaya bisa terminum air cucian mukanya. Tapi, Woto gak peduli. Yang penting, Eno sudah memberikan jaminan padi sebanyak 5000 karung dengan iming-iming, Woto menunjuk Eno sebagai cawakades.
Woto membentuk kubu yang dinamakan kubu "Tumenggung Sakti". Dengan harapan, masyarakat desa akan terpukau dengan kharisma kubu "Tumenggung Sakti". Masyarakat desa akan mendukung Woto karena didukung oleh kubu "Tumenggung Sakti" yang terkenal kesaktiannya. Kubu "Tumenggung Sakti" seringkali melakukan parade keliling desa. Bahkan, kubu "Tumenggung Sakti" melakukan acara pamer kesaktian di alun-alun desa Gandul Sari untuk mempertontonkan kesaktiannya.