Lihat ke Halaman Asli

"MAHA" siswa

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Seperti yang kita tahu sekarang bahwa globalisasi maupun westernisasi semakin marak merambah kehidupan manusia di muka bumi ini. Tidak ada yang dapat menolak maupun mencegah hal tersebut terus berkembang .  Banyak  perubahan positif yang terjadi namun tidak boleh luput juga tentang banyaknya  perubahan negative yang mempengaruhi setiap bagian masyarakat terutama pada masa transisi dari remaja menuju dewasa.

Didalam dunia pendidikan sendiri tidak luput dari pengaruh negative globalisasi terutama dalam perguruan tinggi.  Banyak masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan pendidikan di perguruan tinggi. Mata kuliah baru yang bernama tawuran. Tawuran antar mahasiswa pecah di mana-mana. Korban pun jatuh. Peristiwa ini memang tidak nyaman di dengar. Citra mahasiswaa sebagai ujung tombak reformasi pun tercoreng. Mahasiswa mempunyai prefiks “maha”  yang memiliki konotasi bahwa mereka adalah sekumpulan manusia berpendidikan tinggi dan beradab dan  lebih “maha” dibandingkan siswa. Begitu kan?

Sementara teman-teman “maha” sibuk melakukan tugas “maha” lainnya, seperti demonstrasi menentang RUU PKB, tapi teman-teman “maha” yang lain malah tawuran sesamanya.

Sejauh krisis mentalitas dan moral mahasiswa terdapat beberapa masalah pokok yang turut menjadi akar krisis mentalitas dan moral dilingkungan. Pertama , arah pendidikan telah kehilangan obyektifitasnya. Perguruan tinggi  tidak lagi melatih peserta didik untuk melatih diri berbuat sesuatu berdasarkan nilai moral dan akhlak, dimana mereka menapat koreksi tentang tindakan-tindakannya; salah atau benar; baik atau buruk . dengan kat alain , terdapat permissivisme nilai atau moral yang cukup meluas di lingkungan kampus, yang berlangsung nyaris tanpa koreksi dan kontrol, karena adanya sikap tidak perduli.

Kedua, proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lingkungan perguruan tinggi. Lembaga pendidikan ini cenderung lupa pada fungsinya untuk turut mendewasakan mahasiswa; mempersiapkan mereka untuk  meningkatka kemampuan meresponsi dan memecahkan masalah-masalah dirinya sendiri maupun orang lain. Terdapat sedikit sekali mahasiswa yang mempunyai “kedewasaan” dalam pemecahan masalah.

Ketiga, proses pendidikan di perguruan tinggi sangat membelenggu mahasiswa maupun dosen. Hal ini bukan hanya karena formalisme perguruna tinggi – baik dalam hal administrasi , melainkan dalam proses belajar mengajar yang cenderung sangat ketat, juga karena beban kurikulum yang sngat berat (overloaded). Akibatnya, hampir tidak tersisa lagi ruang untuk mahasiswa mengembangkan imajinasi dan kreativitas intelektualnya. Lebih parah lagi, interaksi akademis yang berlangsung di pergurua tinggi telah hampir kehilangan human and personal touch-nya. Jadinya proses pendidikan di perguruan tinggi hampir sama dengan interaksi manusia di pabrik yang menghasilkan produk-produk serba mekanitis dan robotik.

Keempat, beban kurikulum yang demikian berat, lebih parah lagi, hampir semuanya diarahkn pada ranah pengembangan kognitif belaka. Dan itupun disampaikan melalui pola deliveri system. Pada pihak lain , ranah afeksi dan psikomotorik hampir tidak mendapat perhatian ynag sewajarnya. Padahal pengembangan kedua ranah ini sangat penting dalam pembentukan watak dan karakter yang baik.

Kelima, kalaupun ada materi yang dapat menumbuhkan rasa afeksi- seperti mata kuliah agama – ia umumya disampaikan dalam hal verbalisme, yang juga disertai dengan rote-memorizing. Akibatnya, bisa diduga mata kulih agama cenderung hanya untuk sekedar diketahui dan dihafal agar dapat lulus ujian; tetapi tidak untuk diinternalisasika dan dipraktikan, sehinngga menjadi bagian yangntidak terpisahkan dalam diri mahasiswa. Hal ini juga berkaitan dengan kenyataan yanga da dalam masyarakat luas.,dimana terdapat diskrepansi yang cukup mencolok antara keimanan  dan ketaatan formal dalam ibadah keagamaan dengan perilaku sosial.

Keenam, pada saat yang sama mahasiswa dihadapkan pada nilai-nilai yang saling bertentangan (contracdictory set of values). Pada satu pihak,  mahasiswa diajarkan, misalnya oleh dosen cara bertingkah laku yang baik, jujur,hemat, rajin dan sebagainya, tetapi pada saat yang sama banyak orang tidak  melakukan hal-hal sepertiitu, bahkan dalam kalangan perguruan tinggi tersebut.

Ketujuh, selain itu mahasiswa juga kesulitan dalam mencari cotoh teladan yang baik (uswah hasanah/living moral exemplary) di lingkungannya. Dalam survei terlihat bahwa mahasiswa atau remaja mnemukan tokoh-tokoh teladan dari mereka yang sudah wafat.

Daya dukung ekonomi yang berat dalam menyelenggarakan kependidikan nasinal tersebut dapat pula kita baca dari masih amat rendahnya tingkat pencapaiansemua jenjang pendidikan sekolah dasar sampai menengah pertama hingga atas bila diperbandingkan dengan tingkat pendaftarannya.  Berbagai alasan dapat di berikan . tetapi terutama dalam kaitan dengan beban ekonomi masyarakat untuk menopang pendidikanyang amat berat, adalah alasaan finansial, yang akhirnya ujung-ijingmya adalah untuk membantu ekonomi orang tua, anak-anak harus masuk pasar kerja yng keras kompetisinya sebelum kedewasaan psikologis-sosialnya dan fisiknya memungkinkan untuk itu. Alasanya pertama orang tua sudah mengeluarkan uang yang banyak untuk membiayai pendidikan anaknya, banyak yang putus sekolah di tengah jalan, dan kalaupun lulus itu prospek kerjanya amat muram. Mereka pada umur-umur pencarian jati diri dan makna hidup sehingga amat rentan secara psikologis-sosial , mudah jatuh kedalam kefrustasian generasi yang dapat memunculkan kepasrahan sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline