Lihat ke Halaman Asli

Nuja’ Rame: Tradisi Sumbawa yang Tak Lagi Terdengar

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suku Samawa adalah suku yang mendiami bagian barat Pulau Sumbawa atau bekas wilayah Kesultanan Sumbawa, wilayahnya seluas 8.493 km2 yang berarti lebih dari setengah Pulau Sumbawa dengan luas keseluruhan mencapai 14.415,45 km2, sedangkan bagian timur Pulau ini didiami oleh suku Bima. Suku Sumbawa adalah campuran kelompok etnik-etnik pendatang yang telah membaur dengan kelompok etnik pendatang yang lebih dahulu mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa, sehingga melahirkan kesadaran akan identitas budaya sendiri yang dicirikan dengan kehadiran bahasa Sumbawa atau basa Samawa sebagai bahasa persatuan antaretnik yang mendiami sebagian pulau ini. Para tau Samawa pada zaman dahulu memiliki berbagai macam kebudayaan yang selalu mereka lakukan setiap melakukan kegiatan sehari-harinya. Dan hal  tersebut sudah menjadi tradisi para tetua pada saat itu.

Dan salah satu budaya atau tradisi suku Samawa yang masih cukup sering dilakukan oleh masyarakat Sumbawa adalah mengenai tata cara kompleks pernikahan dalam masyarakat Sumbawa yang selalu diselenggarakan dengan upacara adat yang mengadopsi proses perkawinan adat Bugis-Makasaar yang diawali dengan bajajaq (pendekatan), bakatoan (meminang), basaputis (bermusyawarah memutuskan keperluan pernikahan), bada’(pemberitahuan kepada mempelai wanita bahwa dia akan menikah), nyorong (kegiatan penyerahan barang kepada mempelai wanita), upacara barodak (pemakaian lulur dan pancar unyuk calon pengantin), ete ling (meminta jawaban mempelai wanita), dan  pada malam hari menjelang kedua calon pengantin dinikahkan dan basai (resepsi).

Jika masyarakat sekarang hanya mengenal tradisi yang telah disebutkan tersebut, ternyata ada banyak hal yang benar-benar terlupakan oleh sebagian masyarakat kita yaitu kegiatan sebelum dilakukanya prosesi perkawinan tersebut, yaitu nuja’ rame. Nuja’ rame adalah bagian dari tradisi pernikahan masyarakat Sumbawa yang dilakukan ketika ada acara perkawinan. Walaupun sebenarnya nuja rame merupakan tradisi yang sering dilakukan masyarakat Sumbawa pada saat masa panen telah berakhir tetapi setelah Nuja Rame akan dilanjutkan dengan acara pernikahan. Memang apa hubungannya ?

Pada umumnya, setelah masa panen masyarakat samawa melakukan acara perkawinan bagi keluarga-keluarga yang sudah siap melakukannya. Karena setelah masa panen itulah biasanya semua persiapan untuk melakukan pesta pernikahan telah tercukupi. Dari seluruh pelosok kampung (dulu) semua warga berbondong-bondong membawa hasil panen padi mereka untuk dituja (tumbuk) di salah satu rumah warga. Selain itu, nuja rame juga sebagai momen Panulung (bantuan) bagi keluarga yang akan melaksanakan pesta perkawinan.

Ketika hari nuja’ rame dilaksanakan, beberapa orang menyembunyikan rantok (alat penumbuk padi), dengan cara dipukul dengan ngalu (alu dari kayu dan bambu) sebagai tanda bahwa ada keluarga yang akan melaksanakan nuja’ rame. Nuja’ rame biasnya dilakukan oleh ibu-ibu.Biasanya, rantok ini dibunyikan pagi-pagi buta ketika orang belum keluar dari rumahnya dan suasana kampung masih sunyi sepi dari aktifitas warga. Sehingga semua warga bisa mendengarkan bunyi rantok tadi. Rantok pun tidak asal dibunyikan saja, tetapi dengan teknik khusus sehinggga menghasilkan irama (pagonteng) yang membuat orang senang mendengarnya. Suaranya pun bak tabuhan drum band dijaman sekarang. Irama dari rantok tadi di setiap desa mempunyai ciri khas tersendiri, sehingga menghasilkan keragaman jenis pukulan nuja’ rame.

Setelah masyarakat beramai-ramai datang, barulah rantok tadi berhenti dibunyikan. Kemudian masing-masing masyarakat menyerahkan sendiri barang bantuan (panulung) kepada keluarga pengantin. Panulung yang sudah terkumpul nantinya akan diserahkan oleh keluarga calon pengantin pria kepada keluarga calon pengantin wanita. Namun kalau keluarga pengantin wanita yang melaksanakan adat nuja’.maka panulung (bantuan) itu digunakan pada saat pelaksanaan akad nikah dan pesta perkawinan.

Begitulah kira-kira sedikit gambaran mengenai tradisi masyarakat Sumbawa pada zaman dulu yang mungkin ada beberapa masyarakat Sumbawa zaman sekarang yang masih melaksanakan tradisi tersebut. Membahas tradisi dan adat istiadat zaman sekarang pada sebagian generasi muda bukannya rasa antusias yang akan diperoleh tetapi hanya anggukan kecil yang menandakan bahwa masalah itu bukan urusan mereka padahal dalam tradisi yang kecil dan kuno tersebut tersimpan banyak pelajaran hidup yang mampu kita petik sebagai generasi muda seperti adanya gotong royong yang tinggi sesama manusia dan bagaimana layaknya hidup bermasyarakat yang berjiwa sosial yang dalam masyarakat sekarang sudah sangat jarang kita temui.

Dan siapa yang harus kita salahkan dalam persepsi tersebut ? Budaya atau pikiran sekarang para generasi muda ? Dan itu bukan jawabannya. Dalam konteks masalah ini tidak ada yang kita salahkan tetapi yang menjadi acuan bahwa budaya kita saat ini sudah terkontaminasi jiwa-jiwa modernisasi dari luar. Budaya dinomorduakan karena dianggap sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan pemikiran masa sekarang yang harus mengikuti alur peradaban. Bukan menyalahkan adanya aliran modernisasi hanya saja masyarakat awam sekarang masih belum mampu memfiltrasikan dirinya sehingga segala yang pengruh yang masuk diterima tanpa adanya penyelekasian. Dan yang berakhir dengan banyak budaya-budaya dan tradisi yang seharusnya dilestarikan malahan harus hilang dengan sendirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline