Lihat ke Halaman Asli

[Untukmu Ibu] Sejuta Rindu Untukmu, Ibu

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nomor peserta : 455

Ibu, ketika aku menulis ini aku bukan hanya tak lagi bersamamu, tetapi juga sangat jauh dari rumah dimana Ibu selalu memanjakanku. Saat menuliskan ini, aku mencoba membayangkan ekspresi Ibu saat membacanya. Seandainya Ibu membacanya, akankah Ibu tersenyum? Mengerutkan kening? Atau menitikkan airmata? Dan setelah Ibu membacanya, akankah Ibu memelukku dengan tangisan? Memberikan ceramah panjang? Atau menepuk bahuku dan tersenyum bangga? Ah, entahlah. Aku bahkan tak bisa berandai-andai dengan ekspresimu karena aku memang tak akan melihatnya lagi, bukan?

Ibu, kini aku telah semakin tua, tapi entah apakah aku telah dewasa atau akan tetap menjadi gadis kecilmu yang manja. Dua puluh delapan tahun, Ibu. Sudah tua, bukan? Tapi tahukah Ibu bahwa di usia ini, aku masih sering menangis. Aku masih sering menangis ketika aku merindukanmu. Pula, saat ada masalah atau cobaan dalam hidupku. Itu karena aku berharap ada Ibu di sampingku. Mungkin saat masalah datang padaku, Ibu akan memberikan ceramah dan nasehat yang panjang dimana dulu aku selalu bosan mendengarkannya. Kini, aku sangat merindukan semua nasehat, ceramah bahkan omelanmu, Ibu.

Lima setengah tahun silam, saat Om Yadi datang menjemputku ke kantor dan mengajakku pulang ke Jogja, aku seperti bermimpi. Aku masih tidak percaya kabar yang dibawanya. Ibu telah pergi. Ibu telah meninggal. Ibu sudah beristirahat dengan tenang. Ibu sudah tidak merasakan semua sakit yang selama ini dirasa. Itu yang beliau katakan. Tapi apa reaksiku saat itu?

“Tidak mungkin! Tidak mungkin! Ini mimpi!”

Ya, saat itu aku sedang bermimpi. Aku tidak benar-benar mendengarnya atau setidaknya semua yang kudengar tadi tidak benar-benar terjadi, kan?

Seminggu sebelumnya aku pulang menemuimu, Ibu. Kata dokter, kondisi Ibu membaik dan ada harapan untuk sembuh meskipun sedikit. Tapi dokter tidak pernah menyebutkan kemungkinan bahwa Ibu akan pergi begitu cepat. Ya, mungkin itulah takdir, ketika kehendak Tuhan tak bisa ditebak dan mendahului pemikiran manusia.

Tapi Ibu, siang itu, aku pun menelpon dan berbincang denganmu, bukan? Saat bapak bilang baru selesai menyuapi Ibu dengan lauk daging rendang kesukaan Ibu dan mengupaskan apel untukmu, bukan? Hanya berselang dua jam kemudian Om Yadi mengatakan bahwa Ibu telah pergi. Bisakah aku mempercayainya? Bisakah aku menerima berita itu?

Hujan airmata menemaniku mencari tiket Batam-Jogja yang saat itu masih belum ada penerbangan langsung. Semua penerbangan ke Jogja masih harus transit di Jakarta. Mudah memang mendapatkan tiket Batam-Jakarta. Tapi kemudian di Jakarta, aku harus berlari dari satu terminal ke terminal lain mencari tiket pesawat ke Jogja. Hasilnya? Aku mendapatkannya, tapi semua penerbangan yang tersedia adalah di atas jam 14.00 WIB. Sementara bapak mengabariku akan memakamkan Ibu selepas dhuhur. Aku hampir pingsan di bandara. Ingin rasanya aku berlari sampai rumah untuk melihatmu yang terakhir kalinya. Mencium kening, pipi dan juga kakimu, mengharap maaf dan keridhoanmu atas semua tingkah polahku padamu selama ini, Ibu. Tapi kenyataannya, Tuhan tak mengijinkanku. Aku harus mengijinkan bapak memakamkan Ibu tanpa kehadiranku. Dan aku? Aku baru tiba di rumah selepas maghrib dimana untuk melihat pusaramu saat itu pun tidak diijinkan. Besok pagi saja, begitu kata semua orang padaku.

Tujuh hari aku menyiram pusaramu, Ibu. Tapi tetap tak sanggup membayar kehilangan saat-saat terakhir melihatmu. Sedih itu tak jua pergi meninggalkanku. Rasa kehilangan itu semakin menyiksa batinku. Hingga aku coba untuk bangkit kembali dan memberikan keyakinan pada diriku sendiri bahwa jasadmu memang ada di bawah sana tapi hati dan jiwamu ada di sini, di hatiku. Bukankah orang baik tidak pernah mati, Ibu? Mereka hanya meninggalkan jasadnya tapi kebaikan hatinya akan selalu bersama orang-orang yang dicintainya, bukan? Dan itu yang kurasakan saat itu. Ibu tetap hidup di hatiku, menemani dan mendampingiku. Meski aku tak bisa lagi melihat kehadiran fisikmu secara nyata di sampingku. Namun, kadang kala aku benar-benar berharap masih bisa memeluk atau merasakan pelukanmu, Ibu.

Tahukah Ibu, bahwa aku tidak benar-benar siap ditinggalkanmu? Aku hanya selalu ingin menunjukkan ketegaranku di hadapan keluarga agar mereka tidak mengkhawatirkanku. Sejatinya, aku teramat kehilanganmu. Karena kepergianmu merupakan kehilangan yang begitu berat bagiku. Apalagi saat lebaran pertama tanpamu di tahun 2008 lalu. Saat itu, aku bahkan tak bisa berhenti menangis. Entahlah, rasanya masih tak percaya bahwa Ibu sudah tiada. Bahwa Ibu sudah benar-benar meninggal dunia, meninggalkanku dan semua keluarga.

Tentu Ibu tahu kebiasaan kita di setiap lebaran, yaitu sungkeman. Ibu sungkem kepada bapak. Saya sungkem kepada Ibu dan bapak. Dedek sungkem kepada saya, Ibu dan bapak. Tapi saat itu, sepulang aku dari sholat Ied, begitu kubuka pintu, airmata itu pecah. Tak sanggup lagi rasanya menahan lebih lama. Tak sanggup lagi menunggu acara sungkeman baru mencurahkannya. Aku bahkan tak sanggup berkata-kata. Hingga cukup lama aku berusaha untuk menata perasaan dan mencoba menerima bahwa Ibu benar-benar telah tiada. Tapi, tangis itu kembali pecah saat aku benar-benar masuk acara sungkeman. Lama aku baru bisa menguasai emosi dalam dada untuk bersiap ke rumah nenek. Tapi, Ibu, bukan hanya aku yang menangis saat itu. Bapak dan dedek pun ikut menangis karena kehilanganmu. Saat itu, kami bertiga menikmati lebaran dengan menangis bersama dan saling berpelukan. Saling menguatkan saat menyadari kembali bahwa kami tidak lagi memilikimu, Ibu. Kami tidak lagi bersama Ibu seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dan tahukah Ibu, bukan hanya aku, bapak dan dedek yang kehilanganmu? Tapi keluarga besar, sahabat, teman bahkan seluruh penduduk dua desa yaitu desa dari keluarga bapak dan desa dari keluarga Ibu, semua merasa kehilanganmu. Saat itu, baru kusadari bahwa Ibu memang begitu berharga tidak hanya untukku tapi untuk semua orang. Mungkin Ibu bukan pahlawan, tapi Ibu meninggalkan kesan mendalam di hati setiap penduduk desa, tetangga terutama keluarga. Aku bangga setiap kali bertemu mereka dan melihat bagaimana mereka menangis saat memelukku sembari berkata, “siapa yang menyangka bahwa ibumu akan pergi secepat itu? Dia adalah orang baik dan semua orang merasa kehilangan ibumu.”

Lama aku berusaha berdamai dengan perasaanku sendiri, mencoba menerima kepergianmu. Namun, setahun lalu, rasa kehilangan itu kembali mencuat. Saat dimana semua gadis menganggapnya sebagai hari paling bahagia dengan kebahagiaan yang sempurna. Namun, bagiku masih tidak sesempurna seperti yang mereka rasakan. Tidak ada Ibu di sampingku. Itu yang kurasakan. Tidak ada Ibu yang menemani, mendampingiku dan meredam semua rasa yang campur aduk di hatiku. Rasa kehilangan itu semakin kuat saat ijab qabul terucap. Tidak kudapati pelukan dan tangis harumu, Ibu, seperti ibu teman-temanku yang menikah lebih dulu. Aku merasa ada sebagian diriku yang kosong. Begitu juga saat tamu bergantian menyalamiku sembari mengucapkan selamat dan do’a atas pernikahanku. Bukankah seharusnya Ibu mendampingiku di sana, menyambut tamu dan berterimakasih atas kedatangan dan do’a restu mereka untukku? Dan bukankah seharusnya Ibu juga memberiku nasehat pernikahan seperti yang biasa diberikan seorang ibu untuk putri mereka?

Aku memasuki fase kehidupan sebagai seorang istri tanpa mendengar dan melihat restumu secara langsung untukku, Ibu. Meskipun aku yakin, seandainya Ibu ada di sini, pasti akan memberikan restu untukku. Bukankah begitu, Ibu? Dan pasti Ibu juga akan mengajariku menjadi istri yang baik untuk suamiku. Ah, aku terlalu banyak berharap, bukan? Itu bisa membuatkan terlalu banyak berkeluh kesah dan kurang bersyukur. Ibu pasti tidak akan suka karena dulu Ibu mengajariku untuk pandai bersyukur dan menahan diri untuk tidak mengeluh.

Ibu, aku melewati hari-hariku sebagai istri dengan banyak tidak tahu dan selalu mencarai tahu bagaimana seharusnya sikapku. Selama itu pula aku selalu gelisah setiap kali ditanya sudah hamil atau belum. Lumayan lama aku menunggunya, Ibu. Hingga sepuluh bulan sejak pernikahan itu, dokter menyatakan bahwa aku hamil. Itu artinya aku akan menjadi seorang ibu, gelar yang sama seperti yang melekat padamu. Itu juga berarti bahwa Ibu akan menyandang gelar baru. Nenek. Bahagiakah Ibu?

Setelah sepuluh bulan aku menunggu dan dokter menyampaikan kabar gembira itu, sejujurnya yang ingin kuberi tahu setelah suamiku adalah Ibu. Inginku memelukmu dalam bahagiaku saat itu. Tapi aku tidak bisa, bukan? Sekali lagi, aku hanya bisa berandai-andai terhadap reaksi Ibu. Mungkin Ibu akan tertawa mendengarnya, tidak percaya bahwa gadis manjanya akan menjadi seorang Ibu. Mungkin juga Ibu hanya akan tersenyum dan mengucapkan selamat. Tapi bisa jadi Ibu akan menangis haru sambil memelukku. Entahlah, Ibu, aku tidak bisa menebak mana yang benar. Aku hanya bisa meyakini bahwa jika Ibu masih ada di sini, pasti akan bahagia mendengar kabar itu, entah dengan ekspresi seperti apa.

Ibu, aku menjalani kehamilan pertamaku dengan begitu banyak tanda tanya. Banyak sekali yang tidak kupahami dan kumengerti, Ibu. Saat itu, aku berharap masih ada Ibu di sisiku yang akan membantuku melewati semua tahapan dalam proses kehamilanku. Tapi itu hanya harapan yang tidak akan terkabul, bukan? Aku banyak bertanya kesana kemari tentang ini dan itu seputar kehamilan. Lumayan, itu membuatku tidak terlalu fokus pada mual-mual akibat ngidamku.

Di saat begitu kebingungan, aku masih bisa bersyukur karena memiliki ibu mertua yang baik dan peduli padaku. Beliau memberikan perhatiannya kepadaku selama proses kehamilan sampai melahirkan, menggantikanmu, Ibu.

Namun, semua tidak serta merta berjalan seperti harapku setelah Tuhan memberikanku ibu mertua yang baik dan sayang padaku. Saat kehamilanku semakin mendekati persalinan, janin dalam perutku masih sungsang. Dokter menyampaikan semua kemungkinan dan alternatif yang bisa diambil. Aku ngeri mendengar semua kemungkinan terburuk yang disampaikan dokter jika tetap memaksakan untuk melahirkan normal. Kemungkinan tubuh janin akan tersangkut di jalan lahir atau patah lengannya. Suamiku ikut mendengarnya dan mengerti kegelisahanku. Aku sadar betul akan minimnya pengalaman mengingat ini adalah kehamilan pertamaku. Akhirnya kukubur egoku dan mengikuti saran dokter untuk melakukan operasi caesar.

Ibu, aku sungguh ketakutan membayangkan semua hal menyeramkan tentang meja operasi. Setelah beberapa tahun lalu aku nyaris menjalani operasi otak karena cidera kepala dan selalu ada kemungkinan gagal operasi. Kini, aku harus kembali berhadapan dengan meja operasi untuk persalinan pertamaku. Meskipun aku memang selalu menganggapmu hidup di hatiku, tapi saat itu aku sungguh berharap ada Ibu secara nyata yang akan menemani dan mendampingi selama operasi itu. Tapi aku tidak bisa mengharapkan itu lagi, bukan?

Operasiku direncanakan tanggal 10 Agustus, tapi aku mengalami pecah ketuban delapan hari sebelumnya sehingga mau tidak mau dan siap tidak siap aku harus menjalani operasi saat itu. Aku menjalani operasi itu didampingi oleh suami dan mertuaku. Semua banyak berdo’a untuk kelancaran operasiku. Alhamdulillah, operasi berjalan lancar dan aku melahirkan anak laki-laki yang gagah. Perasaanku campur aduk. Bahagia, haru dan sedih jadi satu. Aku bahagia karena telah benar-benar merasa sempurna sebagai wanita dengan menjadi ibu untuk anak kandungku sendiri. Aku juga terharu mengingat semua hal yang kualami selama kehamilan serta dukungan suami dan mertuaku. Namun, aku juga merasa sedih karena saat itu aku tidak menemukanmu di sampingku. Ingin rasanya kusampaikan padamu bahwa Tuhan menjawab do’amu, Ibu. Bukankah selama ini Ibu selalu menginginkan anak laki-laki? Tuhan memberikannya melalui aku. Anak laki-laki yang Ibu tunggu itu adalah anakku, cucumu, Ibu. Aku yakin Ibu juga akan merasa bangga dan bahagia dengan kehadirannya.

Hari ini, ketika semua anak merayakan Hari Ibu dengan memberikan hadiah terbaik mereka, aku hanya bisa memberikan do’a terbaikku dan kisahku ini sebagai hadiahku untukmu, Ibu. Aku ingin membagi kisahku padamu. Kisah yang selama ini Ibu tak bisa menemaniku melewatinya.

Ibu, meskipun Hari Ibu hanya dirayakan setiap tanggal 22 Desember, tetapi bagiku, setiap hari adalah hari kasih sayang untukmu. Ingin kusampaikan bahwa aku menyayangimu sampai kapanpun. Ibu akan selalu abadi di hatiku sampai akhir nanti. Dan ingin kusampaikan bahwa anak lelaki yang sangat kusayangi dan kucintai ini adalah cucumu, Ibu. Do’akanlah dari atas sana agar kelak ia menjadi kebanggaanku dan juga kebanggaanmu, Ibu.

Ibu, istirahatlah engkau dengan tenang dan bahagialah di sana. Semoga Tuhan menyatukan kita kembali kelak di surga. Sejuta cinta dan rinduku untukmu, Ibu.

I love you so much, Mom.

Peluk ciumku untukmu dari gadis kecilmu yang manja.

NB:

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul : Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline