Lihat ke Halaman Asli

Pikiran Seorang Gadis Menjelang Pernikahannya

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14113103791832528974

[caption id="attachment_360698" align="aligncenter" width="388" caption="Could we please understand each other?"][/caption]

Sumber gambar dokumen pribadi

Aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan ini. Sehari ini aku penat berpikir. Bagaimana tidak, aku akan menjadi pengantin. Aku segera menikah. Aku beruntung bisa menikah dengan orang yang aku cinta, walau ketemu cuma sekali dengannya.Tentu saja aku senang dan bahagia. Rasanya tak sabar ngin hari bahagia itu kulewati. Tapi itu perasaanku. Pikiranku berbeda dengan perasaanku, jujur saja aku tidak tahu bagaimana nanti aku menghadapi suamiku, bukan soal malam pertama. Kalau soal itu aku sudah membaca buku "olah asmara." Orang tuaku bahkan sudah membekaliku dengan cukup pengetahuan selama aku dalam pingitan. Itu sudah lebih dari cukup. Tinggal praktek. Tetapi, bukan itu sekali lagi bukan itu.

Aku seorang gadis cantik, bahkan tercantik di desa aku tinggal. Di sebuah desa kecil di kota Phnom Penh, Kerajaan Kamboja. Aku anak ketiga dari tiga orang bersaudara. Saudaraku yang paling tua adalah perempuan, kemudian laki-laki setelah itu aku. Hidupku terbiasa mandiri, orang tuanya mendidikku dengan aturan yang normal dan wajar menurutku. Tak mengekang juga tak memberi kebebasan. Terkontrol dengan baik. Aku memang anak penurut. Aku tidak suka konflik. Bisa dipastikan jika ada seseorang yang berkonflik denganku, itu bukan salahku. Selama ini pergaulanku melulu dengan teman perempuan, tak pernah bergaul dengan laki-laki. Selama ini tak ada yang laki-laki yang dekat secara perasaan denganku, kecuali ayahku. Ayahku orang yang baik. Ia laki-laki yang menurutku baik dan normal. Aku seringkali bicara dengan ayahku. Ya, selama ini kehidupanku, kehidupan orangtuaku normal dan wajar. Kami mempunyai waktu makan bersama, secara teratur pergi rekreasi, pergi ke pagoda bersama. Berkunjug ke sanak famili. Bahkan kami suka piknik. Tak ada konflik yang berarti. Selama ini aman-aman saja menurutku. Aku tidak tahu kehidupan abangku, dia sudah berpisah dengan kami sejak ia tamat sekolah menengah. Demikian juga dengan kakak perempuanku. Kami jarang bicara, walaupun setiap hari ia makan bersama. Ia punya kesibukan sendiri punya perasaan dan pikiran sendiri. Kami ya biasa saja.

Saat aku kuliah pernah memang ada lelaki satu kota denganku yang jatuh cinta padaku, tapi dia tinggal di Seoul, Korea Selatan. Ia bekerja disana. Kami hanya berhubungan lewat e-mail. Ia pernah mengirimiku boneka panda sebagai tanda cintanya, tapi sungguh aku hanya memandangnya sebagai teman. Teman biasa. Sekali saja ia datang ke rumahku mengantarkan boneka itu, aku tak di rumah waktu itu. Ibu yang menerimanya untukku. Karena aku tak menanggapinya, ia pun mungkin bosan. Kemudian entah.

[caption id="attachment_360702" align="aligncenter" width="539" caption="My heart is pink roses...."]

14113110051247262272

[/caption]

Sumber gambar disini

Ada juga tetangga rumahku yang tinggal persis di depan rumah, ia teman lelaki sepermainanku. Setelah kami dewasa seringkali kupergoki dia memandangiku diam-diam, karena aku sibuk dengan sekolahku lalu kuliahku, aku tak serius memperhatikan. Menurut orangtua suatu saat, orangtua temanku itu hendak menjodohkanku dengan anaknya, tapi ayahku menolaknya. Ayah menolaknya dengan halus dengan alasan aku masih sekolah. Kemudian entah aku tidak tahu lagi kabar teman sepermainanku itu, kabarnya ia ke Bangkok untuk bekerja.

Menjelang tahun akhir kuliah, aku diterima bekerja di perusahaan Singapura di Phnom Penh. Perusahaan asing ini menerapkan rooling pada posisi tertentu untuk para pegawainya di seluruh perusahaan di Asia Tenggara, termasuk posisi yang aku tempati. Managernya orang Singapura. Ia lelaki baik, tak menunjukkan kalau dia atasan, ia dekat dengan stafnya di bawah pengawasannya. Ia lah yang memberitahuku untuk belajar bahasa Indonesia. Ia akan merekomendasikanku untuk di-rooling, aku bersedia saja, karena take home paynya lebih tinggi. Mulailah aku belajar bahasa Indonesia dan sedikit budaya Indonesia.

Dua tahun aku ditugaskan di Surabaya, Indonesia. Perusahaan menyediakan tempat tinggalku di Surabaya karena aku orang asing di Indonesia. Menjelang tugasku berakhir inilah aku tahu Mas Wahyu. Lelaki kelahiran suku Jawa. Bukan tahu saja, tapi dikenalkan dan didekatkan oleh seseorang yang menjadi temanku di Facebook. Kami sama-sama suka menulis di Kompasiana. Kami berkomunikasi ya di Kompasiana. Berbalas komentar di tulisan masing-masing. selain di Facebook.

Pendek cerita, saat ini aku akan segera menikah dengannya. Ia akan menjadi suamiku, teman hidupku selamanya. Inilah yang menjadikan pikiranku penat. Aku memang jatuh cinta sama dia. Suatu perasaaan aneh pada lelaki yang belum pernah terjadi padaku sebelumnya. Tapi aku belum mengenalnya secara baik, siapa dan bagaimana Mas Wahyu itu? Aku harus bersikap apa dan bagaimana? Bagaimana menghadapinya jika ia marah? Merajuk? Aku tidak bisa memasak, apakah ia mau memberikan kesempatanku untuk belajar memasak? Masih banyak pekerjaan rumah yang aku tidak bisa lakukan, kalau pun toh bisa tapi masih belum benar dan sempurna.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline