Lihat ke Halaman Asli

Lin

Teacher, Writer, and Entrepreneur

Ayo Ciptakan Senyum Kuadratmu dengan Gemar Berbagi!

Diperbarui: 6 Januari 2021   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: pixabay.com

Ada yang bilang, bahagia itu sederhana. Bisa diraih tanpa perlu banyak harta atau tenar dengan menjadi sosialita yang gemar tamasya dan berbagi status di media sosial. Awalnya saya agak ragu dengan pendapat itu. Kesedihan dan penderitaan itu ya saat perut kelaparan dan hidup sebagai tunawisma tanpa pekerjaan. Sedangkan kebahagiaan ya kalau hal sebaliknya yang terjadi: banyak harta dan status tinggi dalam strata kehidupan.

Akhirnya saya selalu hemat habis-habisan ketika gajian. Saya lebih memilih belanja kebutuhan bulanan yang lagi promo dan mengenyampingkan merek maupun kualitas dari barang yang saya beli. Kalau sakit, saya lebih pilih minum jamu. Kalau bisa ya jangan sakit.

Saya juga selalu menunda-nunda saat ingin menghitung harta yang harus dizakatkan. Pikir saya, harta akan berkurang jika kita berbagi, memberi, dan menyantuni mereka yang membutuhkan. Seperti perhitungan matematika, jika sebuah angka dikurangi, hasil akhirnya jadi lebih kecil. Pemikiran yang rasional bukan? Ternyata tidak.

Lambat laun, saya berpikir bahwa bukan perilaku hemat yang saya terapkan akhir-akhir ini, tapi cenderung ke perilaku kikir. Saya sangat tertohok sekaligus tersadarkan dengan sebuah kisah yang saya dengar dari seorang ustadz di YouTube.

Alkisah seorang petani yang tengah memeriksa ladangnya dan sedang memikirkan cara mengairi ladangnya yang kini sedang memasuki musim kemarau. Tiba-tiba petani ini (sebut saja petani pemikir) dikejutkan oleh suara yang mengiringi awan hitam. Suara itu menyeru awan untuk pergi ke ladang petani lain (sebut saja namanya X) yang kebetulan letaknya di sebelah ladang si petani pemikir tadi.

Sang petani pemikir pun automelongo melihat awan tersebut benar-benar bergerak ke arah ladang X. Lalu, turunlah hujan yang cukup deras dan benar-benar hanya di ladang X. Tumbuhannya tumbuh subur dan selalu berbuah sepanjang waktu. Sedangkan ladang si petani pemikir maupun ladang lainnya tetap kering.

Petani pemikir tentu ingin tahu alasan dari peristiwa yang di luar nalar tersebut (kalau saya jadi petani pemikir, sebutan kepo akut sangat cocok bagi saya). Oleh karena itu, bertanyalah ia pada X. Selidik punya selidik, ternyata X membagi tiga hasil panennya.

Pertama, ia alokasikan untuk  berbagi, memberi, dan menyantuni fakir miskin maupun orang yang membutuhkan. Ke dua, ia jadikan modal di ladangnya. Barulah yang terakhir untuk menafkahi keluarganya.

Perilaku tersebut tentu sangat ajaib di mata saya yang masih merasa berat untuk menyisihkan 2,5%-5% gaji untuk zakat (bukan 33% seperti yang X contohkan). Seperti sindiran yang membuat saya malu dan diingatkan kembali bahwa matematika Allah tentu berbeda dengan matematika manusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline