Lihat ke Halaman Asli

EVELYN NJP

BE YOURS SELF

Kemacetan: Siapa Peduli?

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KEMACETAN :  SIAPA PEDULI???

Telat bangun dan terburu-buru. Hari penting karena ada jadwal Ujian Tengah semester (UTS) jam 07.30 WIB. Jarak rumah ke kampus Widya Mandala  Surabaya sekitar 30 menit dalam kondisi normal. Kalau jam padat, butuh waktu sekitar 45 – 60 menit. Saat keluar kompleks Perumahan Jemur Andayani, jam menunjukkan pk. 06.45 WIB. Berarti waktunya sangat mendesak, kalau perlu ngebut. Tapi itu hanyalah planning dibenak semata. Dengan adanya 3 lokasi Sekolah mulai dari tingkat TK sampai SMA, ditambah lagi dengan adanya jalan tembus dari jalan A Yani ke Jemursari yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang berangkat kerja, kepadatan benar-benar maksimal mulai pk. 06.00 – 07.30 WIB. Kegelisahan mendorong detak jantungku bertambah cepat dan udara dingin AC mobil tak mampu mencegah tetasan keringat di dahi. Dari BBM teman sekelas, ada informasi kalau ruang ujian dipindahkan ke ruang lain. Berarti harus cukup waktu untuk mencari ruangan kelas ujian.

Kegelisahanku tampaknya direspon oleh ayah yang mengantarkanku ke kampus. Ayah tidak banyak berbicara, hanya tersenyum sambil menenangkan hatiku yang sangat gelisah. Tampaknya ayah tahu benar kondisi yang terjadi. Aku merasa bersalah karena tidur terlalu larut mempersiapkan materi ujian hari itu. Jarak rumahku ke jalan raya Jemursari sebenarnya cuma 300 meter. Tapi dengan kepadatan seperti ini, sepertinya jaraknya lebih dari 3 km. Mataku terarah pada Saptam Sekolah yang mengatur arus kendaraan yang keluar masuk. Dan aku mulai bernafas lega saat kulihat ada Supertas ( Sukarelawan pengatur lalu lintas) yang membantu. Sekitar 5 menit kemudian, kami berhasil keluar dari kepadatan dan berada di jalur jalan raya.

Peristiwa itu sempat lewat dari pengamatanku karena fokus pada UTS. Barulah beberapa hari kemudian, saat pulang kuliah tengah hari. Mungkin salah makan, perut jadi melilit dan sakitnya luar biasa. Maunya cepat pulang supaya bisa BAB di rumah. Tapi akses  jalan menuju kompleks perumahan Jemur Andayani - Surabaya  kembali macet. Bubaran sekolah tampaknya menjadi biang keladinya. Antrian terjadi mulai dari belokan jalan Raya Jemursari dan semakin padat menjelang masuk ke komplek perumahan. Tampak seorang Supertas mengatur arus lalu lintas dengan sigapnya sehingga kepadatan mulai terurai. Ketika sakit perut benar-benar tak tertahankan, saya sudah sampai di depan rumah.

Saat mendapat tugas untuk menulis artikel dari Dosen mata kuliah “Penulisan Berita dan Feature”, saya kembali teringat akan peristiwa tersebut diatas. Dan tampaknya saya harus mulai membuka mata, mengamati aktivitas mereka di tiap perempatan dan pertigaan yang padat arus lalu lintasnya.

Beberapa orang tampak acuh dengan keberadaan mereka dan tidak merasakan perlunya kehadiran mereka. Malahan enggan membuka kaca mobil sekedar memberi uang recehan sebagai tanda terima kasih. Terkadang banyak orang yang menyepelekan pekerjaan menjadi seorang Supertas  (Sukarelawan Pengatur Lalu Lintas). Tetapi sebenarnya menjadi Supertas itu mempunyai tanggung jawab yang besar, bukan hanya mengatur kendaran tapi juga membantu para pejalan kaki yang menyeberang disekitar jalan tersebut. Ortu selalu mengajar untuk memberi lebih dari seribu rupiah saat kami mendapat pelayanan dari mereka. Dan ortu akan marah kalau uang receh yang saya berikan. Tampaknya saya tertular oleh virus “cepek” yang sering menjadi trade mark mereka sebagai “polisi cepek-an”. Penghargaan atas jasa mereka hanya dihargai cepek  ( Rp. 100,- ) saja sesuai dengan julukannya. Walaupun ada istilah “sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bulit” , tapi uang senilai Rp. 100,- tampaknya tidak layak bagi pelayanan mereka. Panas terik, bahkan dalam kondisi hujan deras pun sering kita jumpai aktivitas mereka. Sebenarnya tidak ada paksaan dari mereka untuk kita, walaupun ada beberpa diantara mereka yang sedikit memaksa untuk meminta uang dari pengendara mobil. Tapi biasanya mereka itu adalah “polisi cepek-an” dadakan, bukan yang rutin ada di lokasi yang sama. Yang biasa “bertugas” di pertigaan/ perempatan yang padat lalu lintasnya, terlihat bersikap profesional. Mereka tetap saja meniup peluit dan menggerakkan tangan mereka untuk mengatur kelancaran arus lalu lintas. Mereka tidak menunggu diberi uang baru mengatur lalu lintas. Mereka menerima bila diberi dan terucap kata terima kasih atas penghargaan kita berapapun nilai uangnya.

Yang seringkali menjadi pertanyaan bagi saya : “ Apakah mereka memang berkontribusi atas kelancaran lalu lintas bagi para pengguna jalan atau mereka hanyalah pengangguran yang putus asa karena ditolak kerja dikantoran  lalu memilih pekerjaan sebagai Supertas?”. Sesungguhnya masyarakat harus semakin peduli dengan keberadaan mereka beserta semua aktivitasnya. Perlu adanya kesadaran moral dari diri pribadi bahwa mereka juga manusia yang membutuhkan pendapatan atas tenaga yang diberikan. Tak jarang mereka adalah seorang suami dan ayah dari sebuah keluarga yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup istri dan pendidikan anaknya. Apakah artinya uang Rp. 1.000,- atau     Rp. 2.000,- bagi kita, sementara kita bisa membeli mobil dengan harga puluhan hingga ratusan juta rupiah? ibarat kita mau ke toilet untuk buang hajat, uang sebesar itu sangat membantu kita untuk aktivitas “pelepasan”. Bahkan pisang goreng pun harganya sudah      Rp. 1.000,-/buah.

Belajar dari kehidupan bermasyarakat, tidaklah dipungkiri kalau jasa mereka sangat berkontribusi bagi kelancaran dan keselamatan berlalu lintas. Apalah artinya uang Rp. 1.000,- dibandingkan dengan adanya komplain karena terlambat memenuhi jadwal pertemuan dengan klien atau person penting lainnya ? dan bagi saya, sepertinya terlambat masuk kuliah atau mengikuti ujian berarti malapetaka yang harus dihindari. Atau mungkin kita lebih rela antri berjam-jam saat mereka tidak ada di lokasi pertigaan/perempatan yang padat lalinnya ? berapa banyak liter yang terbuang dari Bahan Bakar Mesin karena antrian yang meng-ular ? pasti nilainya lebih dari Rp. 1.000,-.

Sesungguhnya sumbangsih yang kita berikan tidaklah cukup untuk menjamin kesehatan atas asap carbon yang mereka hirup dari ratusan kendaraan yang berlalu lalang di jalan setiap hari. Bisa jadi organ paru mereka penuh bercak atas udara kotor yang terhirup setiap hari. Namun jumlah uang minimal Rp. 1.000,- yang diberikan, akan memicu gairah kerja profesional demi kelangsungan hidup keluarganya. Hanya dengan uang Rp. 1.000,-, ya minimal sejumlah itulah. Bahkan kita akan bersuka cita bila seorang Supertas mampu membiayai sekolah anaknya sampai jenjang pendidikan tertinggi. Dan tanpa kita sadari, bahwa kita berkontribusi bagi kesejahterahan hidup keluarga mereka.

Berbicara soal halal dan haram, tampaknya “pekerjaan” sebagai Supertas jauh lebih terhormat dari pada menjadi seorang pengemis atau preman. Para Supertas memberi tenaga sebagai bentuk pelayanan kepada kita dan kita berterima kasih dengan memberikan imbalan yang layak dan pantas. Lalu apa respon kita ? Bukalah kaca mobil anda, ulurkan tangan dan berikanlah uang minimal  Rp. 1.000,-  disertai dengan ucapan terima kasih plus senyum ketulusan. Itulah “energy drink” yang kita berikan pada mereka untuk tetap bertahan atas pengabdian mereka. Biarkan para Supertas memperoleh pendapatan yang layak, minimal setingkat UMR per bulannya agar mereka tetap eksis membantu kita di jalur padat.

Hal lain yang mungkin perlu dipikirkan untuk meningkatkan skill para Supertas yaitu dengan memberi  pendidikan dan pelatihan pengaturan berlalu lintas dari pihak kepolisisan. Paling tidak, campur tangan para aparat kepolisian akan mendisiplinkan pola kerja para Supertas dan menyeleksi kinerja mereka demi kenyamanan para pengguna jalan. Dengan demikian, para Supertas akan menjadi  “mitra polantas” dalam mengatur kelancaran lalu lintas. Hal tersebut haruslah menjadi bahan pertimbangan mengingat tidak sebandingnya peningkatan jumlah kendaraan dengan ketersediaan sarana jalan serta jumlah personil aparat polantas. Mari kita ikut ambil bagian dalam menyejaterahkan hidup kita bersama. Jika arus lalu lintas yang kita lewati terkendali, maka kita akan terhindar dari stress di jalan. Jadikan aktivitas berkendara sebagai kegiatan yang menyenangkan bagi kita. Siapkan uang pecahan Rp. 1.000,- untuk menunjang kelancaran aktivitas kita. Kalau tidak kita mulai dari kesadaran pribadi, jika terjadi kemacetan : siapa yang peduli ? Saya sudah melakukannya, bagaimana dengan anda ???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline