Lihat ke Halaman Asli

BLSM Cuma untuk 5 Mi Instan?

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13720033041549192277

[caption id="attachment_250870" align="aligncenter" width="577" caption="Uang tunai BLSM (Ilustrasi: www.kurakurahitam.wordpress.com)"][/caption] Tirbunews pada Kamis, 20 Juni 2013 (http://banjarmasin.tribunnews.com/2013/06/20/blsm-cuma-untuk-5-mi-instan) memuat berita soal ketidakadilan dan ketidakberesan pemerintah pusat dalam penyaluran bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Pemeritahan SBY, pada tahun ini kembali menyalurkan BLSM kepada seluruh masyarakat miskin di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, Miangas hingga Pulau Rote, PUKUL RATA sebesar Rp150 ribu. Jelas terlihat bahwa pemerintah sangat TIDAK ADIL. Pasalnya, harga kebutuhan pokok di berbagai wilayah jelas-jelas berbeda. Bahkan banyak masyarakat penerima BLSM di Jakarta dan Pulau Jawa, atau di wilayah Indonesia Bagian Barat yang masih protes akan BLSM tersebut. Bagi mereka uang sebesar Rp150 ribu sangatlah tidak sebanding dengan harga sembako di pasaran. Lalu bagaimana dengan masyarakat di Indonesia Tengah, dan lebih lagi di Indonesia Timur? Jelas, harga kebutuhan pokok lebih mahal, apalagi di ujung timur Indonesia, Papua. Harga berbagai produk di sana (sebelum kenaikan BBM) sudah sekitar 2-3, bahkan 4 kali lipat dari di wilayah barat Indonesia. Dengan demikian, maka benar dikatakan pengamat Ekonomi  Hendri Saparini, bahwa uang sebesar Rp150 ribu hanya bisa digunakan untuk membeli lima bungkus mi instan (wilyah pengunungan/pedalaman). Belum lagi transportasi yang harus menggunakan pesawat ke kota untuk membeli lima bungkus mi instan tersebut. Tentu, Rp150 ribu sangat jauh dari harga ongkos pesawat dari pedalaman. Dan lagi, apakah semua warga di pedalaman Papua atau wilayah Indonesia Timur dan Tengah lainnya menerima BLSM? Bukankah mereka yang mendiami puncak Jayawijaya adalah 100 persen penduduk miskin yang hanya memiliki satu-satunya harta berharga “koteka” untuk menutupi satu-satunya pusaka mereka? Atau, apakah sebagian besar masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang 'dicap" provinsi termiskin di Indonesia juga masuk daftar antrean BLSM?? Apakah pemerintah pusat sudah cukup adil hanya dengan hitungan inflasi BPS (Badan Pusat Statistik) yang dipakai sebagai acuan besaran BLSM tersebut? Dengan demikian, saya sangat mendukung penolakan yang dilakukan oleh beberapa kepala daerah, termasuk salah satunya Wali Kota Solo, Jawa Tenga, FX Hadi Rudyatmo atas penyaluran BLSM tersebut. BLSM hanya sarana untuk meredam sesaat gejolak di masyarakat setelah kenaikan harga BBM. BLSM menjadi senjata mematikan dari pemerintah pusat untuk sekadar menyebarkan virus pencitraan. BLSM menjadi virus ‘kadaluarsa’ untuk ‘semakin meninabobokan masyarakat. Dan akhirnya, BLSM hanya sekadar mau mengembalikan nama baik tuan Presiden. Jadi, BLSM, “Bantuan Langsung Saja Mematikan.”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline