Lihat ke Halaman Asli

Limantina Sihaloho

Pecinta Kehidupan

Kenapa Tantangan Hidup itu Perlu?

Diperbarui: 21 Januari 2023   14:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Areal perladangan kami di Urung Panei, Simalungun - dok.pri) 

Tantangan Hidup dan Pembentukan Karakter

Setelah aku dewasa, aku mulai bertanya: mengapa anak-anak dari keluarga yang ekonominya bisa dibilang memprihatinkan ketika mereka masih kecil dan remaja, justru sebagian besar lebih berhasil dalam hidup ketika mereka sudah dewasa? Mengapa anak-anak dari keluarga yang berkecukupan dalam hal ekonomi (cukup sandang, pangan dan papan bahkan rekreasi) kadang malah lebih rendah keberhasilannya setelah dewasa dibanding dengan mereka yang berasal dari keluarga yang kurang berkecukupan? 

Kedua pertanyaan itu telah lama menggangguku. Bolak-balik memunculkan diri di dalam otakku. Heran. Kok nggak pergi-pergi kedua pertanyaan macam ini dari dalam kepalaku? 

Yang duduk di kursi berwarna hijau itu adalah Opung Silalahi, begitu kami menyapanya di Urung Panei. Beliau masih ada hubungan keluarga dengan ibuku, si Boru Damanaik. Ibu yang sedang mengupas kacang itu adalah istri dari Opung Silalahi, Opung Boru Tarigan. Mereka ditemani oleh kedua cucu mereka dari satu-satunya anak laki-laki yang bekerja sebagai polisi. 

(Opung Silalahi bersama istri dan kedua cucu mereka, aku datang bertandang ke teras rumah mereka di Urung Panei belum lama ini, rumah kami berdekatan - dok.pri)

Opung Silalahi ini mempunya empat orang anak dari istri pertama. Ketika anak ke-4 masih bayi, istrinya sakit dan meninggal dunia. Dia merawat dan membesarkan anak-anaknya sendirian. Beberapa tahun kemudian, dia menikah dengan Opung Boru Tarigan, dan mempunyai satu anak perempuan. Jadi, Opung ini mempunyai 5 orang anak: 4 dari istri pertama yang sudah mendiang, dan satu (anak perempuan) dari istri kedua, Opung Tarigan. 

Di kampung kami Urung Panei, 95% para orang tua bekerja sebagai petani. Ada beberapa yang bekerja sebagai guru, mereka ini pun, usai jam kerja di sekolah, biasanya langsung ke ladang juga, bercocok tanam. Pada masa itu, sebelum ada berbagai tambahan gaji untuk guru di negeri ini kan, mereka pada umumnya tidak bisa hanya bergantung pada gaji bulanan apalagi anak-anak mereka sudah masuk sekolah, sudah masuk perguruan tinggi, perlu ada penghasilan tambahan. 

Di Urung Panei tak ada orang yang kelaparan karena semua bekerja. Anak-anak juga bekerja. Usai sekolah, kami ke ladang membantu orang tua. Begitu juga dengan anak-anak Opung Silalahi. Kami tidak hanya bertetangga di kampung di Urung Panei tetapi kami juga bertetangga di ladang yang jaraknya relatif jauh dari rumah. Malah, karena jarak antara rumah dan ladang kami relatif jauh, kami kadang tinggal di ladang selama berbulan-bulan, bahkan bisa setahun dua tahun. Pada hari minggu, kami pulang ke Urung Panei, biasanya karena kami perlu, merasa perlu ke gereja. 

Kenapa kami tinggal di ladang? Beberapa alasan utamanya adalah biar bisa lebih banyak waktu bekerja di ladang, di samping, perekonomian orang tua kami memang cukup memprihatinkan, jadi kami harus belajar hidup seadanya. Pada waktu itu ya begitu keadaannya. Kalau orang tua punya cukup uang, biasanya tidak memilih tinggal di ladang, bolak-balik saja dari rumah ke ladang setiap hari. 

Setelah aku dewasa dan sekarang, aku sungguh sangat menghargai pengalaman itu. Kalau aku harus memilih antara mengalami kehidupan macam yang barusan kuceritakan itu dengan tinggal sebagai anak orang kaya dan segala sesuatu tersedia bagiku, maka aku memilih yang pertama, tinggal di ladang, di gubuk seadanya, malam hari ditemani suara jangkrik dan kadang desir angin yang menakutkan.

Pernah suatu malam, bapak dan inang pergi ke kampung dekat jalan raya tak jauh dari sekolah kami. Jaraknya dari ladang kami ke kampung yang kami namakan "Parsingkolaan" itu lumayan jauh, apalagi untuk ukuran anak-anak pada masa itu. Gelap dan semakin gelap. Aku bersama dua orang adekku. Aku mungkin kelas 4 SD, mungkin juga kelas 3? Aku dan kedua adekku merondok di pojok gubuk karena takut. Tak ada siapapun di perladangan itu, hanya kami. Mungkin waktu itu keluarga Opung Silalahi juga tinggal di ladang mereka tetapi rumah mereka di ladang itu pun jauh juga, hampir setengah perjalanan ke kampung yang bernama Parsingkolaan itu. Pun, rumah mereka di ladang mereka itu masih agak ke landaian bawah di areal perladangan mereka. Jauhlah! 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline