Kenapa Petani Disepelekan?
Bagian ini masih terekam dalam memoriku. Saat itu, aku dan Inangku (ibuku) berkunjung ke rumah opung di Lumban Na Hot, sebuah kampung di daerah Parbaba, Samosir.
Opung ini punya anak perempuan yang ketika itu masih SMA. Opung ini istri dari adek laki-laki opungku, jadi aku panggil "opung" juga.
Ibuku bilang sama anak perempuan Opung, "Kalau bisa, janganlah pegang tanah", ibuku ngomongnya dalam Bahasa Batak Toba, "Molo boi nian, unang manjama tano".
Maksud ibuku adalah jangan sampai dalam hidup anak perempuan opung itu dia menjadi petani. Kan petani harus pegang-pegang tanah, berurusan dengan tanah.
Ibuku bercerita, dia menikah dalam usia muda, tak lama setelah lulus SR, Sekolah Rakyat. Zaman itu, ibuku bilang, dia harus merelakan bahwa saudara-saudara laki-lakinya masuk sekolah, melanjutkan sekolah setelah tamat SR ke Pematang Siantar, sementara dia membantu orangtua untuk mencukupi biaya sekolah saudara-saudaranya itu. Dari 7 saudara laki-laki ibuku, 4 orang menjadi guru. Sebagian sepupunya juga menjadi guru.
Menurutku, abang dari bapaknya ibuku lebih modern sebab ada paling tidak dua orang anak perempuan dari opung itu yang menjadi guru, di samping beberapa anak laki-lakinya.
Di antara anak-anak perempuan opungku, 4 orang perempuan, tak satupun yang menjadi guru, semua menjadi petani. Padahal, rumah dari abang-adek bermarga Damanik ini dekat, tetanggaan.
Jadi, ibuku, mungkin karena sejak kecil sudah harus bekerja di ladang, menjadi getir dan berpikiran sempit tentang bertani.