Lihat ke Halaman Asli

Limantina Sihaloho

Pecinta Kehidupan

Robohnya Surau Kami, Cerpen Favorit Saya

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_268656" align="alignleft" width="300" caption="shamabd.aminus3.com"][/caption]

Saya membaca Robohnya Surau Kami sekitar 6 tahun yang lalu di Perpustakaan Joseph Regenstein, Chicago. Senang betul menemukan buku-buku dalam bahasa Indonesia di sana; konon ini perpustakaan paling besar di Chicago.

Sastra memikat jiwa banyak manusia, termasuk saya ini; salah satu tempat belajar untuk menilai: "manusia macam apakah awak ini?"

Kalau seorang Kristen setelah membaca cerpen ini berpikir bahwa cerita AA Navis hanya ditujukan untuk umat Islam, maka dia adalah seorang Kristen yang berpikiran sempit. Kalau seorang Muslim mengira saya mempostingkan cerpen AA Navis ini di sini untuk membuatnya merasa tak nyaman, maka dia juga sama berpikir sempitnya.

Pak Saleh, tokoh dalam cerpen ini bisa dengan mudah kita ganti dengan Pendeta Tagor atau siapa saja atau nama kita sendiri yang senang berdoa dan menyebut-nyebut nama Tuhan untuk memuliakanNya.

Robohnya Surau Kami terbit pertama kali pada tahun 1956. Enjoy it!

ROBOHNYA SURAU KAMI

Oleh:  A.A Navis

KALAU beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau.

Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaanya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum. Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal.

Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari. Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarnya.

Beginilah kisahnya. Sekali hari aku datang pula mengupah kepada Kakek. Biasanya Kakek gembiri menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu.

Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?" "Ajo Sidi." "Ajo Sidi?" Kakek tak menyahut.

Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebutkan pemimpin katak.

iba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku

ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi, "Apa ceritanya, Kek?" "Siapa?" "Ajo Sidi." "Kurang ajar dia." Kakek menjawab.

"Kenapa?" "Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh

tenggoroknya."

"Kakek marah?"

"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diriku kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku

tanya lagi Kakek:

"Bagaimana katanya, Kek?" Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali.

Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku.

"Kau kenal padaku, bukan? Sedari kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka

mulutnya, di takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaanya sendiri.

"Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wata'ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada- Nya? Tak Kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umat-Nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya-Allah, kataku bila aku kagum. Apalah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?" "Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa ceritanya Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek.

Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita juga.

“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “di akhirat, Tuhan Allah memeriksa orang- orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyaknya orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang.

Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya

menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan “selamat ketemu nanti”. Bagai tak habis- habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya. Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil

tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama. "Engkau?" "Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku." "Aku tidak tanya nama. Nama bagiku tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia." "Ya, Tuhanku." "Apa kerjamu di dunia?" "Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku." "Lain?" "Setiap hari, setiap malam, bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu." "Lain?" "Segala tegah-Mu, kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun dunia

seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang dihumbalangkan iblis laknat itu."

"Lain?"

"Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu."

"Lain?"

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, bahwa pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.

"Lain lagi?" tanya Tuhan.

"Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan

Penyayang, Adil dan Mahatahu."

Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya. Tapi Tuhan bertanya lagi: "Tak ada lagi?"

"O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu."

"Lain?" "Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang aku lupa

mengatakannya, aku pun bersyukur karena Engkaulah yang Mahatahu." "Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?" "Ya, itulah semuanya, Tuhanku." "Masuk kamu."

Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap. Alangkah tercenggangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula.

Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan

semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.

"Bagaimana Tuhan kita ini?" kata Haji Saleh kemudian,

“Bukankah kita disuruhnya-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah

kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.”

“Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang se-negeri dengan kita semua, dan tak

kurang ketaatannya beribadat.” “Ini sungguh tidak adil.” “Memang tidak adil,” kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh. “Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.” “Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.” “Benar. Benar. Benar.” Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

“Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?” suatu suara melengking

di dalam kelompok orang banyak itu.

“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Saleh.

“Apa kita revolusikan juga?” tanya suara lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin

gerakan revolusioner. “Itu tergantung pada keadaan,” kata Haji Saleh. “Yang penting sekarang, mari kita berdemontrasi menghadap Tuhan.”

“Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demontrasi saja banyak yang kita peroleh,” sebuah

suara menyela.

“Setuju. Setuju. Setuju.”

Mereka bersorak beramai-ramai. Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap

Tuhan. Dan Tuhan bertanya. “Kalian mau apa?”

Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara

menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya:

“O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain- lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.”

“Kalian di dunia tinggal di mana?” tanya Tuhan. “Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.” “O, di negeri yang tanahnya subur itu?” “Ya, benarlah itu, Tuhanku.”

“Tanahnya yang mahakaya-raya, penuh oleh logam, minyak dan berbagai bahan

tambang lainnya bukan?”

“Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.” Mereka mulai menjawab

serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah

mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu. “Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?” “Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.” “Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.” “Negeri yang lama diperbudak orang lain?” “Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.”

“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkutnya ke negerinya,

bukan?”

“Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.”

“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang

hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”

“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting

bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.” “Engkau rela tetap melarat, bukan?” “Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.” “Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?”

“Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu

mereka hafal di luar kepala.”

“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?”

“Ada, Tuhanku.”

“Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.”

Semua jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diredhai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia itu salah atau benar.

Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang

mengiring mereka itu.

"Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?" tanya Haji

Saleh.

"Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikit pun."

...Demikian cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi

menjenguk. "Siapa yang meninggal?" tanyaku kaget. "Kakek." "Kakek?"

"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan

sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."

"Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku

yang tercengang-cengang. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya

saja. Lalu aku tanya dia. "Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi. "Tidakkah ia tahu Kakek meninggal?" "Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."

"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh

perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang ke mana dia?" "Kerja" "Kerja?" tanyaku mengulangi hampa. "Ya. Dia pergi kerja." ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline