Lihat ke Halaman Asli

Limantina Sihaloho

Pecinta Kehidupan

Mengapa Gereja Ini Besar Amat dan Dingin?

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_250823" align="alignleft" width="162" caption="Cathedral of Saint Joseph, Hartford, CT - www.catedralofsaintjoseph.com"][/caption] Oh, That Big Church? Saya berjalan di Farmington Avenue, Hartford, pagi tadi; tujuan saya ke Trinity Episcopal Church, sebuah gereja Anglican yang dibangun pada tahun 1890-an. Di sebelah timur gereja ini ada sebuah gereja berukuran jauh lebih besar, dindingnya berwarna abu-abu dan terbuat dari semacam beton. Dalam perjalanan ke Trinity Episcopal Church itu, cuaca cerah dan orang-orang sebagian sudah berada luar rumah; menjelang pukul 10:00 pagi. Mendekati gereja itu, seorang laki-laki, African-American, dengan rokok di tangannya dan dari penampilannya menurut saya dia belum mandi, bertanya, "Hallo? How are you doing?" "Good!" saya bilang dengan perasaan agak tidak nyaman; mana enak melihat penampilan orang yang belum mandi apalagi ada rokok mengepul di tangannya? Perokok jelas membuat saya antipati. "Are you going to the church?" tanyanya lagi, mungkin karena dilihatnya saya berpakaian rapi dan manis. "Yea!" jawab saya dengan berani tapi tak peduli. "Which church?" tanyanya lagi. "The one at Sigourney Street", jawab saya sambil tetap berjalan ke arah yang berlawanan dengannya. "Oh, that big church?" lanjutnya. "Yea!" jawab saya sekenanya. "Do you want me to go to church with you?" tanyanya yang membuat saya secepat kilat dan tegas menjawab: "No, thank you!" lalu terus berjalan ke tujuan saya yang sudah sangat dekat. Berada di luar dan di daerah yang kurang kita kenal, sebaiknya bersikap tegas tapi sopan. Berjalanlah dengan percaya diri. Hehe. Ada saja yang mungkin usil dan sok-sopan. Gereja yang Besar dan Dingin Dari Trinity Episcopal Church di 120 Sigourney Street yang bangunannya memang indah dan artistik, saya pergi ke gereja di sebelahnya, Catedral of Saint Joseph di 140 Farmington Avenue. Misa masih berlangsung, saya masuk lewat pintu samping di sebelah timur lalu duduk di bangku bagian belakang. Sebelum masuk gedung gereja, saya sudah berpikir, "Maak, gereja sebesar dan setinggi ini? Terbuat dari beton pula. Kalau runtuh bagaimana ya?" [caption id="attachment_250833" align="alignleft" width="241" caption="Bagian dalam gereja; stained-glass window gereja ini dibawa dari Francis, stained-glass di belakang altar itu konon merupakan yang paling besar ukurannya di dunia --- www.catedralofsaintjoseph.com"][/caption] Selama berada di dalam gedung gereja, perasaan saya tidak nyaman. Dingin. Gedung itu serasa menelan. Tinggi dari lantai ke atap sekitar 34 meter; tinggi keseluruhan sampai ke salib di atas gedung sekitar 86 meter, lebar 47 meter dan panjang 85 meter. Orang di bagian depan nampak kecil-kecil, termasuk pastor yang sedang berkotbah ketika saya masuk nampak kecil karena berada di dekat altar (depan) sementara saya duduk di bagian belakang. Orang-orang yang duduk di dalam gereja yang besar dan tinggi kali ruang terbukanya dari lantai ke atap ini nampak kecil-kecil; tertelan oleh suasana dalam bangunannya. Selama beberapa menit saya memeriksa perasaan saya mengapa saya merasa tidak nyaman berada dalam gereja sebesar itu. Ternyata, untunglah, saya menemukan jawaban dari perasaan saya juga: gereja itu terbuat dari beton dan warnanya abu-abu. Warna dan suasananya membuat perasaan lelah dan tertelan. Kalau gereja sebesar itu terbuat dari kayu dan tidak polos saja dari luar termasuk di dalam, tentu perasaan tidak sedingin dan setertelan itu di dalamnya. [caption id="attachment_250828" align="alignright" width="250" caption="St Joseph saat terbakar pada tahun 1956 - www.cathedralofsaintjoseph.com"][/caption] Bagian dalam, dindingnya memang berhias stained-glass-window yang menceritakan kisah-kisah yang umum dalam Kekristenan tetapi ukurannya yang besar-besar dan warna lainnya yang dominan abu-abu dan terbuat dari beton menjadi tidak menarik. Catedral itu tadinya terbuat dari kayu dan warnanya tidak seperti sekarang ini; bangunan sebelumnya jauh lebih bagus dan indah, menurut saya. Bangunan lama terbakar pada tahun 1956, lalu merka ganti dengan yang ada sekarang ini. Mungkin mereka trauma dengan bahan yang terbuat dari kayu? Untuk bangunan yang sekarang ini, rasanya kok mirip kuburan soalnya hampir semuanya terdiri dari beton/semen dan kaca (stained-glass) kecuali kursi-kursinya. Apa yang biasa indah saya lihat, ragam etnik dan ras di luar ruangan, saya lihat sebagai hal yang melelahkan di dalam gedung yang sangat besar dan tinggi ini. Gedung seperti ini akan lebih hangat kalau penuh; daya tampungnya hampir 2000 orang tetapi tadi, saat saya berada di sana, termasuk sepi, sekitar 1/5 kursi terisi. Suasana macam ini di dalam gedung yang besar yang bentuknya macam itu membuatnya tidak menarik. Di kampung-halaman saya di Urung Panei ada gereja kecil di atas bukit, dari segi arsitektur ya tidak ada apa-apanya dengan Catedral St Joseph itu tetapi kalau hari Minggu, penuh. Suasana macam di gereja kampung halaman saya itu jauh lebih menyenangkan daripada suasana di dalam sebuah gedung gereja yang super besar tetapi dingin dan sepi. Ini sama sekali bukan karena saya baru pertama kali masuk di gedung gereja sebesar itu. Banyak gedung gereja yang besar bahkan lebih besar tetapi kalau berada di dalamnya rasanya tidak seperti berada di dalam St Joseph itu. "Ini gereja salah desain kali! Bisa jadi, nasib catedral ini akan sama dengan sebagian besar gereja di Eropah sana yang dilelang seharga 1 Euro itupun tidak laku" celutuk saya pada diri sendiri ketika berada di dalamnya. "Do you want to buy that church?" tanya teman saya suatu ketika di Jerman sambil menunjuk sebuah gereja tua besar yang indah dan artistik, "It is only 1 Euro!" Saya tertawa lalu dia menjelaskan apa artinya itu. Gereja-gereja tradisional semakin sepi; semakin membosankan bagi terutama generasi muda. Yang masih setia datang adalah para orang tua, kakek dan nenek. Sebagian keluarga muda berusaha membawa anak-anak mereka ke gereja tetapi sebagian lain lebih memilih bersantai di rumah atau di tempat liburan. Tidak banyak yang bisa bertahan berada dalam suasana yang kaku bahkan hanya untuk satu jam saja. Musik terlalu serius pula. Beda nian kalau berada di gereja di Afrika dengan musik-musik khas Afrika yang berdentum-dentum; mampu mendentum jiwa yang mendengarkannya. Yang tradisional ini terjebak dalam ketradisionalan dan kemodernan sekaligus; dilematis berdiri di dua zaman di mana yang mengendalikan adalah masa lampaunya; itu berat euy! Bisa seberat gedung Catedral St. Joseph itu!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline