Lihat ke Halaman Asli

Limantina Sihaloho

Pecinta Kehidupan

Gereja Bukanlah Gedungnya!

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kesulitan Mendirikan Rumah Ibadah [caption id="attachment_196515" align="alignleft" width="267" caption="(Gedung ini adalah rumah ibadah Parmalim di Medan, pada tahun 2006. Sekarang sudah mulai membusuk dan menyemak, tak bisa mereka lanjutkan pembangunannya karena warga sekitar yang mayoritas Kristen menolak kehadiran rumah ibadah ini.) "][/caption] Warga non Kristen di kota Bojonegoro keberatan terhadap pendirian gedung gereja yang sudah pada tahap akhir. Sudah sejak 1997, warga sekitar keberatan termasuk terhadap keberadaan kantor gereja di tempat itu. Namun, mereka bisa terima keberadaan kantor karena ada izin pendirinya. Perubahan kantor menjadi gereja ditolak oleh warga non Kristen. Kesulitan mendirikan rumah ibadah tidak hanya dialami Kristen saja tetapi juga Parmalim. Warga Kristen yang mayoritas di suatu tempat bisa cukup arogan dan menolak penganut agama yang jumlahnya lebih kecil untuk mendirikan rumah ibadah mereka seperti yang terjadi di Jl Air Bersih Ujung, Medan. Orang-orang Kristen pada umumnya akan merasa menderita mengetahui atau mendengar kasus yang seperti ini yang terus berulang terjadi di negeri ini; hanya melihat pada apa yang menurut mereka tidak adil terhadap mereka. Sampai sekarang umat penganut agama Malim di Medan tak bisa mendirikan rumah ibadah mereka dan umat Kristen di sana tak peduli. Taka ada inisiatif mereka untuk mengizinkan umat agama Malim melanjutkan pendirian rumah ibadah itu padahal pimpinan pusat HKBP sudah mengatakan tidak keberatan sejak 2006. Berita yang sampai ke luar negeri, ke Eropah atau ke Amerika secara ringkas adalah: Umat Kristen di Indonesia tidak mempunyai hak yang sama dengan sesama mereka yang Muslim dalam hal beribadah. Jarang ada pembahasan mengapa umat Kristen di Indonesia kadang-kadang menghadapi kesulitan dalam mendirikan rumah ibadah mereka. Umat Kristen sendiri, dalam pengamatan saya juga jarang mendalami persoalan itu di luar cara berpikir atau merasa mereka yang sudah pakem; kok kita dipersulit beribadah? Secara umum, umat Kristen yang mengalami kesulitan mendirikan rumah ibadah ini merasa dirinya sebagai korban perlakuan tidak adil dari sesama saudara-i mereka sebangsa-setanah-air. Muslim-Kristen Tapanuli Selatan Mudah-mudahan contoh yang baik di Tapanuli Selatan khususnya Angkola dan sekitarnya masih terus berlangsung. Angkola dapat menjadi laboratorium kerukunan antar umat beragama yang inspiratif dalam konteks Indonesia. Di sini, ada kebiasaan kalau Muslim mendirikan mesjid, kaum Kristen ikut bekerja, bergotong royong dan sebaliknya. Soal makanan, sudah lama ada kebiasaan di antara mereka untuk saling menghormati. Kalau ada acara di gereja dan mengundang saudara-i yang Muslim, umat Kristen membentuk panitia khusus untuk mengurus makanan bagi saudara-i Muslim mereka. Di Sumut ini sendiri, kalau ada pesta-pesta khususnya di kalangan Kristen, selalu ada tempat khusus untuk apa yang kita sebut: parsubang, mereka yang tak boleh makan daging yang haram dalam agama Islam. Silaturahmi dan Perubahan Bisa saja pihak gereja mengusahakan cara yang legal-formal mengurus IMB dan memperoleh itu tetapi belum tentu bisa menjamin akan ada hubungan yang baik antara warga gereja dengan penduduk sekitar. Di daerah yang mayoritas penduduknya Muslim, pendirian gedung gereja yang baru bisa relatif sulit. Mengapa? 1. Penduduk sekitar bisa heran: kok mereka mau mendirikan gedung gereja yang baru lagi? Jumlah mereka kan sedikit saja. Jangan-jangan mereka mau mengkristenkan kita? 2. Di sekitar sini kan sudah ada gereja, mengapa mereka tidak pergi ke sana saja? Itu dua dari banyak pertanyaan yang bisa timbul di kalangan umat di samping persoalan-persoalan yang kompleks yang berkaitan dengan ajaran ekslusif yang sudah diwariskan selama ribuan tahun itu. Khususnya di kalangan Protestan, ada banyak denominasi/aliran, di Indonesia ini, ada lebih dari 100-an. Setiap denominasi ini mau mendirikan gerejanya sendiri-sendiri di mana pun umatnya berada. Orang Batak Kristen bahkan harus membawa HKBP-nya sampai ke New York. Di Jawa, Anda bisa melihat gedung gereja yang bernama: Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Kristen Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB), Gereja Kristen Jawa (GKJ), Gereja Kristen Pasundan (GKP), dan masih ratusan jenis lainnya. Harusnya umat Kristen mau mempergunakan gedung gereja yang sama untuk beridabah sebagaimana saudara-saudari Muslim mereka yang bisa mempergunakan mesjid untuk semua. Ini soal pola pikir dan kemauan. Kalau tidak ada perubahan dalam hal ini, umat Kristen akan terus punya keinginan mendirikan gedung gereja dan terus menimbulkan persoalan apalagi tidak ada upaya konsisten untuk membangun silaturahmi yang natural dengan sesama yang berbeda agama. Gereja bukanlah gedungnya Gedung gereja bukan hal utama dalam Kekristenan. Model bangunan gereja yang ada di Indonesia khususnya di kalangan Protestan berasal dari Eropa. Salut untuk Katolik yang telah mengadopsi nilai-nilai dan model arsitektural lokal dalam gedung-gedung gereja mereka. Di kalangan Protestan, ini masih jauh. Sebelum permulaan abad ke-4, umat Kristen lebih sering berkumpul di katakombe, semacam ruang bawah tanah yang juga berfungsi sebagai tempat persembunyian. Selama lebih dari 3 abad, kehidupan warga Kristen berada dalam bayang-bayang maut; mereka dikejar-kejar dan menjadi objek tontonan seperti di Roma ketika diserahkan menjadi mangsa singa. Secara sederhana, gereja berarti kumpulan umat yang dinamis dalam melakukan pekerjaan melayani yang menderita, tertindas, marginal; yang dipanggil dari kegelapan peradaban menuju pembaharuan. Gedung hanyalah gedung walau harganya bisa miliaran; hanya dipakai beberapa jam dalam setiap hari, sebagian hanya dipakai pada hari minggu saja. Gereja sebenarnya bukan gedung itu tetapi umat dan keseharian mereka bermasyarakat. Itu sebab ada sebutan: "Engkau adalah kitab yang hidup". Artinya, gereja itu terutama ada di dalam diri manusianya; di dalam tindak-tanduk dan prilaku sehari-harinya dalam semua aspek kehidupan.*** --




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline