Lihat ke Halaman Asli

Limantina Sihaloho

Pecinta Kehidupan

Celengan Babi: Desain Grafis Muda (Tempo) Ikut Tren

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_186958" align="alignleft" width="300" caption="(Sumber: joglopos.com)"][/caption]

Menurut Wahyu, Tempo memiliki empat alasan memilih celengan babi untuk menyimbolkan beberapa rekening Perwira Tinggi Kepolisian tersebut. Pertama, dari asal bahasa celengan diambil dari celeng yang artinya babi hutan. Kedua, sejak zaman Majapahit terakota celengan juga selalu dalam bentuk babi. Ketiga, piggy bank (celengan) di luar negeri juga berbentuk babi. “Desain grafis Majalah yang masih muda-muda mengikuti perkembangan tren saat ini. Di film Toys Story yang sedang tren, artisnya si babi,” katanya menjelaskan alasan keempatnya. (Sumber: empat-alasan-tempo-)

Kaum Muslim jelas tak boleh bersentuhan apalagi memakan apa saja bahkan yang hanya terkena dengan daging babi atau di Jawa umum kita kenal dengan sebutan celeng. Mencium aroma daging babi dari jauh saja tak boleh kalau bisa. Di seluruh dunia begitu dan sudah begitu sejak zaman Nabi. Di Sumatera, kalau ada pesta apa saja di kalangan orang Batak misalnya, maka akan ada tempat dan wilayah khusus bagi mereka yang kami sebut parsubang, artinya orang-orang yang tidak boleh makan dan bersentuhan dengan daging babi. Ini sudah menjadi praktek biasa selama ratusan tahun-lah. Kaum Parmalim di Tanah Batak, sama seperti kaum Muslim, juga tidak boleh makan daging babi dan beberapa jenis daging/produk hewan lainnya. Orang Batak Kristen boleh makan daging babi; boleh pelihara babi. Kadang malah kurang sensitif di daerah yang ada tetangga-tetangga non-Muslim. Di perbatasan Aceh dan Sumut di mana tinggal menetap warga Kristen, salah satu persoalan yang muncul adalah orang-orang Kristen ini masih saja mau ngotot pelihara babi dan memanggang babi yang asapnya menjadi sangat tidak menyenangkan bagi tetangga-tetangga mereka yang Muslim. Bagi masyarakat Tionghoa yang non-Muslim, mereka boleh makan dan pelihara babi. Bagi saudara-saudari kita yang tinggal di Papua, yang non-Muslim, bagi masyarakat suku di sana yang jumlahnya ratusan, babi sangat penting bagi mereka. Bahkan, perempuan konon di samping menyusui anaknya juga bisa menyusui anak-anak babi yang masih kecil, itulah saking berharganya hewan itu bagi mereka. Jadi, di planet bumi ini, ada sebagian masyarakatnya yang boleh makan dan memelihara babi dan sebagian lagi, khususnya yang Muslim, tidak boleh. Masing-masing punya pembenarannya sendiri-sendiri dan setahu saya, bagi saudara-i yang Muslim, alasannya terkait dengan ajaran agama, perintah agama di samping juga alasan kesehatan. Orang-orang kunci di Tempo sebagian kan Muslim dan tahu persis bahwa bagi Muslim babi itu haram. Mana mungkin pula tak tahu? Yang begini ini ya sensitif apalagi dipasangkan dengan isu yang bisa bikin orang gelisah selama 24 jam non-stop: korupsi. Pimpinan Tempo mengatakan di zaman Majapahit pun sudah ada celengan berbentuk babi tapi masyarakat zaman itu kan bukan Muslim.  Kalau pilih gambar celengan berbentuk gurita mungkin lebih cocok kan. Babi ya jelas menjadi masalah karena mayoritas warga di republik ini Muslim.  Jelas akan berbeda  kalau gambarnya kodok atau kuda; gambar celengan/tabungan dari babi mengandung unsur berlapis walau orang Tempo bilang tak ada maksud begitu. Dua alasan terakhir Wahyu Muryadi, pemimpin redaksi Majalah Tempo, nampak terpaksakan olehnya. Ya di luar negeri yang mayoritas warganya non-Muslim tentu tak ada masalah dengan apa saja yang berkaitan dengan babi an produk-produknya, mereka tak kenal kata haram dan sejenisnya untuk jenis hewan itu. Tempo perlu dong kalau gitu mengajarkan desain grafis muda-mudanya untuk tidak hanya ikut tren semata apalagi hanya ikut tren dari film-film import tanpa memperhatikan konteks di mana mereka sedang tinggal. Orang Batak kalau mengumpat sangat keterlaluan bisa bilang, maaf, "Babi kau!" Itu kasar nian. Nggak pernah saya dengar orang bilang, "Kodok kau!" atau "Kuda kau!"  Di luar negeri seperti Eropah dan Amerika, saya pun tak pernah dengar orang mengumpat dengan bilang, "You are pig!" atau yang sejenis. Mereka punya ungkapan sendiri. Ada hal-hal yang negatif yang melekat pada mahluk bernama babi bagi sebagian masyarakat kita di negeri ini maupun secara global, jadi itu menambah mengapa cover sebuah majalah seperti Tempo menjadi persoalan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline