Lihat ke Halaman Asli

Limantina Sihaloho

Pecinta Kehidupan

Dari Danau Toba Mengalir ke Selat Malaka

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_85998" align="alignleft" width="300" caption="(Sumber: http://asahannews.com/2010/01/page/2/)"][/caption] 45 Triliun, Nilai Buku Proyek Asahan "Di sebelah tenggara Danau Toba mengalir Sungai Asahan, satu-satunya sungai yang keluar dari danau. Selama berabad-abad sungai tersebut mengalir melalui lapisan tufa liparitis yang sangat tebal, diselingi dengan lapisan batuan dari formasi tertier yang lebih tua, menelusuri kaki bukit setinggi 1.160 meter turun sampai 700 meter di atas permukaan laut. Aliran sepanjang 10 km berikutnya, menurut sangat terjal dan akhirnya memasuki daerah pegunungan tufa yang bergelombang. Daerah ini adalah bagian hulu Sungai Asahan." (Kenangan Membangun Proyek Raksasa Asahan, Ir Bisuk Siahaan, Sinar Harapan, 1986, hlm.90).

Hari ini Kompas Cetak menurunkan berita tentang Proyek Asahan yang antara lain menyebutkan besaran nilai buku Proyek Asahan sejumlah 45 triliun rupiah; Pemprov Minta Proyek Asahan Diambilalih.

Krisis listrik di Sumatra Utara semakin memprihatinkan, padam sewaktu-waktu, macam orang masuk angin dan buang angin terus-menerus. Menyebalkan.

Di provinsi ini ada PLTA Sigura-gura tetapi siapa pemiliknya? Jepang. Soeharto mempersilahkan si saudara-tua ini mengeksploitasi Sungai Asahan menjadi salah satu sumber listrik berkekuatan besar sampai tahun 2013, itupun kalau Indonesia mampu mengganti nilai buku proyek ini dengan uang sejumlah 45 triliun.

[caption id="attachment_86013" align="alignright" width="216" caption="(PLTA Sigura-gura. Sumber:  Kenangan Membangun Proyek Raksasa Asahan, Ir Bisuk Siahaan, Sinar Harapan, 1986,  hlm. 197)."][/caption]

Tanah milik kita sendiri; sungai dan danau juga. Jepang membawa teknologi mereka tahun 1970-an akhir dan proyek ini berjalan pada tahun 1980an. Jadi sudah hampir tiga puluh tahun. Selama tiga puluh tahun, Indonesia hanya mendapatkan remah-remah dari sumber daya alamnya yang luar biasa. Memalukan mengetahui ini sekarang tetapi begitulah yang terjadi hampir merata di seluruh Nusantara. Orang luar mengeksploitasi sumber daya alam di negeri ini; mengeruk berbagai macam keuntungan -- sementara anak-anak negeri rendah keterampilan pergi menjadi buruh, kuli dan budak di negeri-negeri orang.

Lihatlah Sumatera Utara. Di sini ada Danau Toba, danau vulkanik paling besar di planet ini dengan panorama sangat indah yang pernah membuat IL Nommensen, missionaris asal Jerman itu terpesona pertama kali melihatnya sampai-sampai dia harus mengambil resiko sangat besar hanya untuk bisa melihat danau ini dari kejauhan. Dari danau inilah Sungai Asahan mengalir ke Selat Malaka; Jepang yang justru mengambil keuntungan besar dari potensi alam yang hebat ini. Indonesia hanya menjadi penonton, dapat annual-fee setiap tahun, receh-recehannya.

Lihat lebih detil: di provinsi ini terdapat perkebunan-perkebunan yang sangat luas. Saya dengar perkebunan dari Sumatera Utara merupakan perkebunan yang paling bagus di Indonesia dan mensuplai uang paling besar jumlahnya ke pusat, ke Jakarta. Lalu, betapa mengenaskan, jalan provinsi antara Pematang Siantar ke Pematang Raya di Kabupaten Simalungun di mana mayoritas perkebunan di lahan-lahan subur berada di provinsi ini berlobang-lobang dan mengenaskan. Jakarta...! Hanya peduli pada dirinya sendiri.

[caption id="attachment_86015" align="alignleft" width="300" caption="Danau Toba telah menarik perhatian orang-orang luar untuk dieskploitasi sejak akhir abad ke-19. Dalam foto ini, serombongan tim peneliti Danau Toba sedang melakukan pemetaan pada tahun 1891. (Sumber: Kenangan Membangun Proyek Raksasa Asahan, Ir Bisuk Siahaan, Sinar Harapan, 1986, hlm.90)"][/caption]

Apa saya kaget sebagian warga Sumut mau membentuk provinsi yang baru? Tidak. Proyek Asahan berada di wilayah di mana provinsi baru ini hendak berada. Jangan kira wilayah itu miskin. Yang terjadi adalah, Jakarta terlalu egois, mempertahankan konsep NKRI demi pemusatan sumber keuangan sehingga pusat tetap bisa meneruskan mengeksploitasi daerah mulai dari Sabang sampai Merauke.

Otonomi daerah yang merupakan rancangan pusat mempunyai banyak cacat; menjadikan para bupati menjadi penguasa-penguasa lokal yang otoriter. Partai biru itu tiba-tiba menjadi penguasa di  banyak kabupaten dan melakukan berbagai pelanggaran tapi Jakarta seolah-olah santai saja; malah kemayu memberikan berbagai penghargaan. Ups! Ada udang di balik batu kan! Oh, sibuk juga setiap hari mengurusi Bank Century dengan kasus 6,7 triliun-nya itu. Uang yang tak seberapa jika kita bandingkan dengan aset-aset yang nilainya super besar di berbagai provinsi. Nilai buku Proyek Asahan saja sudah 45 triliun!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline