[caption id="attachment_56326" align="alignleft" width="238" caption="Robinson Tarihoran, Ketua Kelompok Tani "Rap Martua" di Barus Utara, Tapteng. (Foto oleh: LTS)"][/caption] Robinson Tarihoran, ketua kelompok tani "Rap Martua" atau bersama berbahagia dari Barus Utara Tapanuli Tengah sama-sama dipanggil Polda Sumut ke Medan dengan Pastor Rantinus Manalu Pr pada tanggal 16 Desember 2009 lalu; keduanya menjadi tersangka tindak pidana dengan tuduhan merambah dan mengusahai hutan register 47 di Tapanuli Tengah yang sebenarnya adalah tidak benar. Pada tanggal 14 Januari 2010, hal yang aneh terjadi sebab hanya Pastor Rantinus Manalu yang dipanggil kembali oleh Poldasu menghadap; Robinson Tarihoran tidak lagi sebab berkas-berkasnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi untuk ditindaklanjuti. Kesan yang muncul dari pemeriksaan Pastor Rantinus Manalu Pr adalah adanya rencana untuk menguapkan tuduhan terhadapnya tetapi dalam waktu yang sama, muncul kesan dengan sampainya berkas-berkas Robinson Tarihoran ke Kejaksaan Tinggi bahwa Robinson akan diadili dengan tuduhan awal yang sama terhadap Pastor Rantinus Manalu. Orang yang lebih lemah ini potensial diperlakukan lebih kejam oleh negara lewat para aparatur negara. Ini musti jadi perhatian kita juga. Ada apa ini? Robinson Tarihoran adalah seorang anak muda dan seorang petani dari Barus Utara. Keluarganya merupakan salah satu keluarga pemilik lahan di Molhum yang oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tapanuli Tengah diklaim dengan asal-asalan sebagai bagian dari register 47. [caption id="attachment_56327" align="alignright" width="300" caption="Rumah ini berada di Molhum, Barus Utara. Penghuninya sudah pindah ke Jambi. Anak-anak lahir di rumah ini. Warga pindah ke pesisir dan tempat lainnya untuk akses yang lebih mudah pada pendidikan dan transportasi. Mereka tetap menanami lahan mereka dengan tanaman palawija dan tanaman keras seperti karet yang tidak begitu produktif karena kurang modal. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tapteng harusnya punya hati untuk menilai keadaan berdasarkan fakta yang sebenarnya bukan hanya akal-akalan dengan mengatakan bahwa tempat ini merupakan bagian dari Register 47. (Foto oleh: LTS)"][/caption] Pada pemeriksaan kedua terhadap Pastor Rantinus Malau Pr minggu lalu (14 Jan 2010), pihak kepolisian tidak mampu menunjukkan peta register di Tapteng sebagaima diminta oleh Pastor Rantinus dan para pengacaranya. Malah dengan naifnya pihak kepolisian di Mapoldasu mengatakan kepada Pastor Rantinus agar bertanya kepada Belanda soal batas-batas register itu. Benar-benar mengenaskan. Harusnya kan pihak kepolisian yang menangani kasus tanah di kantor kepolisian apalagi setingkat Mapolda tidak mengatakan hal yang tidak-terdidik seperti itu. Apa yang terjadi di Mapoldasu berkaitan dengan ketidaktahuan mereka sekaligus arogansi mereka terhadap seorang pastor merupakan salah satu pertanda betapa rendahnya kualitas polisi dalam melayani warga di republik ini. Seorang pastor yang begitu dihormati oleh umatnya saja termasuk oleh uskupnya yang selalu menemaninya ke Mapoldasu diperlakukan oleh aparat negara (polisi) dengan cara seperti itu. Salah satu hal yang saya prihatinkan sekarang adalah nasib seorang Robinson Tarihoran yang adalah seorang petani yang status sosial dan politiknya tidak dan belum sekuat status sosial dan politik seorang pastor seperti Ps Rantinus Manalu Pr. [caption id="attachment_56329" align="alignleft" width="300" caption="Robinson menunjukkan sisi rumah keluarganya yang terbakar api disaksikan oleh kedua orangtuanya. (Foto oleh: LTS)"][/caption] Memang sulit bagi publik untuk berbagi fokus perhatian bahwa yang dikiriminalisasi bukan hanya Pastor Rantinus tetapi juga seorang petani bernama Robinson Tarihoran yang hidupnya sewaktu-waktu juga berada di ujung maut jauh di sana di Barus Utara. Tahun lalu, pada hari minggu, rumah keluarganya di Batu Silandit dibakar orang secara diam-diam saat kampung dalam keadaan sepi sebab warga pada umumnya sedang berada di gereja. Masih untung ada beberapa orang yang sedang berada di warung melihat kepulan asap membumbung tinggi dan segera dengan segala daya upaya memadamkan api yang mulai merambat. Dinding rumah terbakar demikian juga lemari dan pakaian yang ada di dalamnya. Kalaulah kita yang menjadi Robinson Tarihoran dan keluarganya, tinggal di desa terpencil seperti Barus Utara, bagaimana pula rasanya? Kita mau bertani saja sudah tidak aman; dipanggil-panggil negara lewat aparaturnya ke tempat yang jauh; Barus Utara ke Medan itu sangat jauh. Negara kok justru menyusahkan warganya? Negara macam apa pula ini? [caption id="attachment_56331" align="alignleft" width="300" caption="Sisa lemari yang dilalap api di rumah keluarga Robinson; pakaian dalam lemari ludes terbakar api.(Foto oleh: LTS)"][/caption] Mapolda Sumut tak bisa menunjukkan di mana batas-batas hutan register di Tapteng. Tak bisa menunjukkan dan kalau memang benar tak punya peta batas-batas hutan register, kok ya berani-berani betul memanggil warga negara dengan status sebagai tersangka tindak pidana? Kalau pihak kepolisian di negeri ini melakukan tindakan sewenang-wenang macam yang mereka lakukan kepada Pastor Rantinus Manalu dan Robinson Tarihoran, lalu apa konsekwensinya bagi pihak kepolisian? Mengapa pihak kepolisian kok seperti tidak siap untuk memperlihatkan peta batas-batas register yang diklaim Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tapteng sebagai register 47? Apa susahnya bagi Polri untuk mencari batas-batas itu dalam peta termasuk peta dari zaman Belanda? Apa gunanya rakyat di republik ini membayar begitu mahal untuk biaya operasional bahkan gaji para polisi di republik ini kalau untuk itu saja mereka tak becus? Kita kan tahu biaya operasional untuk menjalankan negara ini berasal dari uang rakyat; bukan uang pribadinya si A atau si B. Itu sebab adalah hak kita untuk menuntut kerja profesional dari para aparat negara di negeri ini. [caption id="attachment_56334" align="alignright" width="300" caption="Batas hutan lindung atau register ada ke arah gunung-gunung sana, bukan di sini yang adalah lahan pertanian milik warga Barus Utara. Yang ada di sini antara lain pohon nangka, jenis tanaman yang biasa ditanami penduduk baik dekat rumah maupun di ladang. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tapteng apa tidak mengerti apa saja jenis tanaman yang biasa ada di hutan lindung yang masuk dalam wilayah register dan yang tidak? Belajar lagilah kalau memang tidak tahu! Atau dulu masuk jadi pegawai negeri karena nyogoks? (Foto oleh: LTS)"][/caption] Mengadili Robinson Tarihoran adalah hal yang tidak masuk akal sama sekali sebab pihak kepolisian bahkan tak mampu menunjukkan mana batas-batas hutan register di Tapteng; bahkan, pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tapteng saja bisa melakukan hal yang sangat fatal bodohnya dengan mengatakan bahwa Molhum merupakan bagian dari register 47. Apa benar ada register bernama Register 47 di Tapteng? Dinas ini kerjanya ngapain saja kok nama-nama register saja bisa salah? Kalau register 74 kan masih jauh jaraknya, 12 km, dari Molhum di mana terdapat tanah pertanian milih warga Barus Utara dan Huta Ginjang. Waduh, apa yang musti kita lakukan untuk meningkatkan profesionalitas para aparatur negara kita ini sehingga mereka bisa berfungsi demi kebaikan bangsa ini bukan malah sebaliknya menjadi borok yang membuat bangsa ini justru terbelakang? *** Tulisan terkait: http://polhukam.kompasiana.com/2009/12/18/mari-bergerak-untuk-pejuang-ham-dari-sibolga-saudara-saudari/
http://polhukam.kompasiana.com/2009/12/21/negara-monster-bagi-rakyat/
http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/08/dugaan-korupsi-pemkab-tapten
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H