Lihat ke Halaman Asli

Hijau yang Tak Benar-benar Hijau

Diperbarui: 8 September 2015   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu hijau?

Tak pernah menyangka kan? Apa hasil dari Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah? Mega proyek yang dirintis sejak Tahun 1994 pada akhirnya menimbulkan banyak kerugian dari berbagai segi, padahal sejuta hektar areal hutan telah dibuka dengan maksud kesejahteraan. Lahan yang ada semakin menjadi kritis, kualitas tanah menurun dan lahan mudah tersulut kebakaran karena komposisi tanah gambut. Akibatnya banyak masyarakat yang akhirnya enggan menanam padi dan bermunculan perusahaan sawit. Ternyata keberadaan perusahaan sawit menimbulkan konflik  kepentingan antara warga setempat dengan perusahaan terkait klaim kepemilikan lahan. Aaaah....mega proyek yang tadinya menjadi sejuta harapan bagi masyarakat akhirnya menurunkan sejuta masalah.

Sementara banyak pohon besar di hutan pulau besar Borneo, Sumatera dan Sulawesi ataupun di Papua ditebang dengan alasan pemenuhan kebutuhan (ekspor dan kebutuhan negara sendiri), namun dengan alasan mempertahankan suasana sejuk di kota besar (bilang saja di Jakarta) ternyata sejuk merupakan idaman semua orang.

Hijau menurut saya adalah suatu keharusan, demi alasan kesehatan dan kenyamanan. Makan sayur hijau berarti kita makan demi kesehatan dan kecantikan. Kambing dan sapi makan hijauan artinya juga demikian, penting bagi dirinya agar dapat tumbuh dan berkembang demi pemenuhan kebutuhan tubuhnya. Demikian juga dengan hutan, sementara polusi dunia makin mengganas, dengan beredarnya milyaran kendaraan bermotor, polusi minyak dan gas, polusi kebakaran yang mengakibatkan asap, ternyata keberadaan hutan lebat seperti di pulau Kalimantan merupakan suatu keharusan.

Hutan adalah paru-paru dunia

Hutan merupakan bagian terpenting dalam semesta kehidupan, merupakan sumber segala penghasilan bagi sebagian masyarakat Indonesia, Dayak utamanya. Hutan memenuhi segala kebutuhan manusia, antara lain kayu, tanaman obat, madu, ikan yang berasal dari parit, sungai kecil maupun sungai besar yang masuk kawasan hutan. Tanpa disadari, ternyata hutan menyimpan energi paling besar, yaitu oksigen. Selain itu hutan mampu menyerap carbon dan efek rumah kaca. Dengan segala keberkahannya, Tuhan menyediakan hutan dan isinya untuk semata-mata kehidupan manusia.

Sebagai kawasan hutan terbesar di dunia, Borneo dinyatakan sebagai paru-paru dunia. Betapa tidak? Hutan kayu dengan berbagai diameter lingkaran dari yang kecil hingga 2 meter tersedia di hutan Borneo. Saat Sumatera (Riau dan Jambi) dan Kalimantan panen asap tahun-tahun sebelumnya misalnya, dunia menjerit karena Indonesia ekspor asap sampai ke Malaysia dan Singapura.

Terlepas dari ego dunia yang berlomba dengan menunjukkan kekuatannya dengan memunculkan pengeboran minyak, senjata : nuklir, bom atom, dicetuskanlah Protocol Kyoto pada Tahun 1997 untuk mengurangi emisi gas kaca, sehingga berimplikasi terhadap kestabilan iklim di permukaan bumi. Indonesia dengan luas hutan tropis terbesar di dunia berkomitmen untuk meratifikasi Protocol Kyoto melalui UU No. 7 Tahun 2004. Dengan adanya Protocol Kyoto, Indonesia bisa memperoleh keuntungan dari negara maju (Annex I) berupa proyek dana investasi ramah lingkungan yang betujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Kasongan the green city...slogan kami

Tak ingin tertinggal dari slogan-slogan dunia yang dihidupkan oleh Ngo-non government organization macam WWF, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Greenpeace, Kabupaten Katingan juga tak mau kalah melempar motto di akhir tahun 2014 dengan mottonya : Kasongan the green city dan Katingan Conservation for Borneo. Setelah kabut asap yang parah di awal bulan Agustus hingga anak sekolah diliburkan, akhir Tahun 2014 diluncurkanlah program tersebut. Namun...sejak saat itu akankah kabut asap tak muncul kembali? Apakah program berhasil guna? Tergantung masyarakat yang menjalaninya, mengamalkannya. Ataukah Kasongan Kota Hijau tetap seperti tahun-tahun sebelumnya sebagai the grey city (bukan green), dimana pada musim kemarau banyak warga beramai-ramai membakar lahan, demi kepentingan pribadi yang akhirnya menimbulkan kerugian banyak pihak. Setidaknya program semacam itu diharapkan tak hanya menjadi slogan saja, perlu yang namanya sosialisasi berkelanjutan, perlu solusi dan tindak lanjut bagaimana caranya agar tak terjadi lagi kabut asap.

Tradisi turun temurun

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline