Vonis dua tahun Ahok tiba-tiba menyihir berbagai kalangan di Indonesia maupun berbagai pihak di luar negeri. Vonis ahok seolah-olah menjadikan Indonesia sebagai negara yg tidak toleran, penindas minoritas, semena mena, mengekang kebebasan berpendapat dan seterusnya. Tidak kurang mulai dari netizen, selebritis lokal, selebritis internasional, media lokal, media internasional, NGO lokal, NGO asing, parlemen Belanda, Departemen Luar Negeri AS ramai-ramai menkritisi Indonesia.
Tidak berenti disitu, Dewan HAM PBB untuk Kawasan Asia meminta untuk mengkaji ulang pasal penistaan agama yang ada dalam UU Hukum Pidana. Human Right Watch bahkan meminta untuk mencabut pasal tersebut.
Apakah mereka tidak sadar Indonesia negara super majemuk. Bayangkan jika tidak ada pasal tersebut. Semua orang bebas saling menyebarkan kebencian dan penghinaan kepada orang lain hanya berdasarkan SUKU, AGAMA. RAS.
Apakah mereka tidak sadar Ahok divonis bukan karena dia etnisnya? Ahok divonis bukan karena agamanya? Ahok divonis karena pernyataannya.
"Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu nggak bisa pilih saya ya kan? Dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu ya. Jadi kalau Bapak-Ibu perasaan nggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu ya, nggak apa-apa,"
Lain halnya misalnya jika Ahok menyatakan:
“..kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu nggak bisa pilih saya ya kan? Karena ada pihak yang menyalahgunakan Surat Al-Maidah 51..”
Jika saja itu yang Ahok lontarkan, mungkin pernyataannya itu masih membuka dialog mengenai pendapat kedua yang menyatakan bahwa Al-Maidah 51 tersebut konteksnya bukan pemimpin negara/daerah, jika dilihat dari sejarah turunnya ayat. Walaupun demikian, hal tersebut tetap saja tidak tak lazim. Karena seolah-olah Ahok sudah membenarkan pendapat yang kedua, walaupun hal tersebut di luar domain dan kapasitas Ahok.
Kenyataanya, apa yang dikatakan Ahok, sengaja atau tidak sengaja, adalah Al-Maidah secara default adalah alat untuk menipu. Tanpa disalahgunakan pun “Almaidah” dan “macam-macamnya itu” memang alat menipu, alat untuk membodohi.
Sekarang bayangkan skenario fiksi: ada gubernur Papua Muslim pada saat memaparkan program pada masyarakat mayoritas Kristen Papua berbicara:
"Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu nggak bisa pilih saya ya kan? Dibohongi pakai Injil, macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu ya. Jadi kalau Bapak-Ibu perasaan nggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu ya, nggak apa-apa,"