Lihat ke Halaman Asli

Memaknai Kehidupan di Pusat Rehabilitasi Narkoba dan Gangguan Jiwa

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1381737098615433490

[caption id="attachment_294680" align="aligncenter" width="300" caption="Berfoto di depan Pusat Rehab Bukit Doa"][/caption] Pada hari Kamis, 10 Oktober 2013 lalu, saya dan beberapa teman berkunjung ke Pusat Rehabilitasi Narkoba dan Gangguan Jiwa “Bukit Doa” di Pancur Batu, Sumatera Utara. Pusat Rehabilitasi ini telah berdiri sejak 30 tahun silam, dan berada di belakang sebuah gereja. Awalnya kami datang ke sana untuk keperluan tugas (mata kuliah Intervensi Sosial), namun ternyata lokasi ini tidak bisa dijadikan tempat praktik kami. Cukup disayangkan, mengingat bahwa kami sudah merasa cocok dengan tempat ini.

Kemudian pada hari Sabtu, 12 Oktober 2013, saya dan dua orang teman kembali berkunjung ke tempat itu untuk mengikuti kegiatan mereka. Kebetulan hari itu akan ada Mahasiswa Kedokteran dari Malaysia yang memberikan pengobatan gratis bagi pasien di sana. Tepat pukul 9 pagi, kami tiba di Pusat Rehabilitasi itu. Sejenak berhenti di depan gerbang tinggi berwarna hijau tua, kami bingung bagaimana caranya masuk dengan pintu gerbang tergembok. Karena saat pertama kali datang ke sana, gerbang itu terbuka. Ternyata alasannya sederhana: para pasien sedang melakukan kerja bakti di luar, sehingga gerbang itu perlu dikunci agar pasien tidak mencoba kabur.

Mahasiswa Psikologi yang Penakut

Saat diizinkan masuk, ternyata para staf sedang sangat sibuk. Sehingga kami diminta untuk menunggu di ruang kantor. Tak dapat dipungkiri bahwa saya sangat takut dengan banyaknya pasien pria yang berada di luar, memperhatikan kami. Apalagi jika saya mengingat pernyataan salah satu staf di wawancara awal, “Klien kami ada yang masuk sini karena pecandu narkoba, stres, atau bahkan ada yang sudah gila. Staf kami ada 12 orang untuk merawat 73 orang pasien”.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana cara menghadapi pasien-pasien tersebut. “Kita ini mahasiswa Psikologi lhoo. Ini adalah bidang kita. Masa gitu aja takut?” ujar salah satu teman saya. Saya cuma nyengir sambil bilang, “Iya, tapi ini masih proses adaptasi. Ini suasana baru yang belum pernah didatangi seumur hidup. Wajar kan?” Oke, saya akui bahwa saya memang penakut saat itu. Tidak berani melihat para pasien yang sedang kerja bakti itu. Cuma bisa menunduk.

[caption id="attachment_294681" align="aligncenter" width="300" caption="Lapangan tempat para pasien keja bakti"]

13817371811460852644

[/caption] Salah satu kejadian yang paling menunjukkan bahwa saya penakut adalah ketika ada seorang pasien yang mendatangi kami (dia bicara dari balik jendela ruang kantor) dan bilang “Kak, Bang, bagi kuenya lah. Yang kecil aja...” Dan saya tidak berani menjawab. Ternyata dia minta kue yang ada di meja di kantor itu. Cuma teman saya yang menjawab bahwa itu bukan kue kami, dan ia berani berkenalan dengan pasien itu. TWO-THUMBS UP buat teman saya itu hehe.

Pasien juga Manusia

Saat berkeliling ke tempat tinggal pasien, ada dua gerbang lagi menanti. Gerbang pertama mengarah pada tempat tinggal pasien pria. Sedangkan gerbang lain mengarah pada tempat tinggal pasien wanita. Gerbang itu tergembok dan terdiri dari jeruji besi, sehingga kita bisa melihat suasana di dalam. Terdapat kamar-kamar kecil yang berjejer. Sedangkan melalui gerbang wanita, saya tidak bisa melihat bagaimana suasana kamar pasien, karena kamarnya berada jauh di dalam. Dan kami tidak diizinkan untuk masuk ke dalam gerbang itu karena termasuk orang asing di sana.

[caption id="attachment_294682" align="aligncenter" width="300" caption="Di belakang kami adalah gerbang tempat tinggal pasien pria"]

13817372701030849539

[/caption]

Tak jarang terdengar suara teriakan dari balik gerbang itu. Hal itu yang membuat saya sering bergidik ngeri, namun berusaha menyembunyikan ekspresi wajah. Saya dan salah satu teman hanya berkeliling sambil menunggu acara pengobatan dimulai, sedangkan teman saya yang pemberani itu mengobrol dengan pasien. Satu tips komunikasi dengan pasien yang saya dapat dari pendeta yang mengurusi pusat rehab itu: “Mereka senang diajak bicara seperti anak-anak. Jadi ketika berbicara dengan mereka, lakukan seperti berbicara dengan anak-anak...”

Pengobatan gratis dimulai dengan pasien wanita. Kami ikut duduk bersama pasien itu. Satu per satu pasien dipanggil. Ada yang sedikit nakal sehingga harus berkali-kali dipanggil, ada yang tertawa-tawa sendiri saat menunggu, ada yang diam termenung, dan ada yang tidak mau diperiksa. Pasien ini adalah seorang wanita berusia sekitar 30 tahun. Dia hanya duduk di belakang dan mengomel dengan suara keras. “Aku kan bukan pejabat. Pejabat duduknya di depan. Aku kan gak dapat penambahan pendidikan, jadi duduk di belakang. Aku gak mau diperiksa!” Itu hanya sedikit kutipan dari omelannya.

[caption id="attachment_294686" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana pengobatan gratis pasien wanita"]

1381737397983442750

[/caption]

Semua kejadian itu tak luput dari observasi saya. Kami bertiga ditugasi untuk membagikan makanan dan minuman ketika pasien selesai diperiksa. Ada pasien yang mengucapkan “terima kasih” atau “thank you” ketika diberikan makanan, tapi ada juga yang diam saja. Kami menduga bahwa pasien yang mau mengucapkan terima kasih adalah pasien dengan keadaan cukup baik. Setidaknya mereka aware dengan kehadiran kami, bahkan mengetahui etika sopan-santun.

Pengobatan gratis dilanjutkan dengan pasien pria. Para pasien berjalan menuju aula. Tak jarang beberapa pasien bertanya pada staf “Mamakku ada nelpon?” “Anakku ada datang?” atau “Kapan aku bisa keluar, Buk? Bosan kali di sini”. Hati ini mencelos jika mendengar pertanyaan mereka itu. Puncak rasa sakit mendengar keluhan pasien adalah ketika seorang pasien wanita curhat pada staf dan kebetulan sedang ada kami di sana “Kak, kurasa mamakku udah gak sayang lagi sama aku. Aku harusnya udah keluar dari sini. Aku kan udah sembuh. Orang sakit yang ada di sini. Kalau udah sembuh, mana mau ada di sini. Mungkin keluargaku anggap aku sampah. Gak dianggap jadi anak. Dibuang di sini kayak sampah. Atau aku dianggap kayak anjing,” ujarnya berapi-api.

[caption id="attachment_294688" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana pengobatan gratis pasien pria"]

1381737512279768791

[/caption] Saya mengobservasi pasien wanita itu. Dia sepertinya memang sudah sembuh, karena saat diajak bicara, dia masih cukup ngerti dan nyambung. Hanya memang pandangan matanya sulit fokus dan kadang gestur tubuhnya aneh. Salah satu teman saya iseng bertanya “Emang kalau pulang, mau ngapain?” Dia menjawab “Kalo pulang, aku dapat angpao kalo imlek. Udah berapa tahun aku gak dapat angpao. Di luar pun bisa kerja dan nikah. Aku mau cari pasangan dan nikah. Nanti kalo udah terlalu tua, perempuan susah dapat suami. Terus aku mau kerja. Di sini kan gak bisa dapat uang.”

Mungkin itu hanya salah satu curahan hati pasien yang menyentuh hati nurani. Kisah lain datang dari pasien berusia 21 tahun. Dia adalah korban penganiayaan ayahnya sejak kecil. Meskipun kini ayahnya sudah meninggal, namun ia masih belum berani pulang ke rumah. Ketika berkomunikasi dengan orang lain, matanya tak berani melihat ke mata lawan bicara. Mungkin itu adalah pengaruh dari pengalaman dianiaya yang dialaminya dulu. Namun ia adalah sosok yang ramah dan santun apalagi ketika dipuji “ganteng” hehe.

Pasien lain yang menarik perhatian saya adalah dua orang pasien pria yang kaki dan tangannya dirantai. Wajahnya begitu tidak bersahabat. Namun ia patuh ketika dipanggil untuk diperiksa. Ketika kami tanya alasan pasien itu dirantai, jawabannya adalah “mereka sering mencoba kabur atau berperilaku kasar, makanya dirantai”. Kemudian ada pasien yang tidak bisa berjalan sehingga harus dibopong oleh dua orang pasien lain. Dari hasil observasi saya dan teman-teman, bapak itu sepertinya tidak benar-benar lumpuh. Ia sepertinya mampu berjalan, namun ia tidak ingin berjalan sendiri.

Beberapa pasien yang saya ungkapkan tadi hanyalah segelintir dari 73 pasien yang ada. Satu hal yang pasti adalah bahwa pasien juga manusia, seperti kita. Yang membedakan hanyalah mereka sedikit kurang beruntung karena fisik dan mental mereka lebih lemah dibandingkan kita. Ketika menghadapi stres, kejiwaan (mental) mereka tidak mampu bertahan. Patah hati, masalah keluarga, kekurangan atau kelebihan kasih sayang, dan faktor kandungan menjadi penyebab umum pasien di sana masuk ke Pusat Rehabilitasi ini.

Memaknai Kehidupan dari Pasien

Bersyukurlah. Hidup kita lebih beruntung dari mereka. Mungkin saat ini kita merasa bosan jika berada di dalam kelas (bagi siswa/mahasiswa) atau merasa bosan dalam pekerjaan, tapi bayangkan betapa bosannya pasien yang harus terkurung selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di tempat itu dan harus menahan rasa rindu kepada keluarga. Mungkin saat ini kita muak dengan makanan yang dihidangkan di rumah, tapi bayangkan bagaimana makanan pasien yang ada di Pusat Rehab itu.

Mungkin saat ini kita merasa kurang bebas dengan hidup kita. Merasa dibatasi atau dikekang oleh orang tua atau merasa terganggu dengan tanggung jawab sebagai mahasiswa. Tapi bagaimana dengan pasien yang harus terkungkung oleh gerbang dan tidak mendapat hiburan selain ketika melakukan kebaktian? Bandingkan kebebasan yang kalian miliki dengan kebebasan yang mereka miliki. Tidak sebanding, Kawan! Bersyukurlah.

Hal lain yang  saya dapatkan dari Pusat Rehabilitasi ini adalah HIDUP HARUS SEIMBANG. Keseimbangan antara harapan dan kemampuan, keseimbangan antara kasih sayang yang diterima dan diberikan, dan keseimbangan antara hidup untuk dunia dan akhirat. Ketika terjadi ketidakseimbangan dalam hidup, berawal dari stres, kemudian menuju pada gejala skizofrenia (bahasa awam: gila).

Stres memang merupakan hal yang wajar bagi setiap manusia. Oleh karena itu, mari temukan coping stres yang tepat yaitu bagaimana cara menghadapi stres yang efektif bagi diri sendiri.  Sehingga kita tidak mengalami gangguan ketika menghadapi stressor atau masalah. Lain kali, saya akan mengulas strategi coping stres yang bisa dilakukan ketika menghadapi stres. Semoga artikel ini bermanfaat! [LS]

Catatan Penulis:

Artikel ini memang ingin sekali saya tulis untuk berbagi pengalaman kepada pembaca. Karena sepulangnya dari sana, saya masih saja teringat dengan pasien-pasien itu. Sehingga saya memutuskan untuk menulis artikel ini sebagai kepuasan bagi saya sendiri dan keinginan untuk berbagi pada pembaca.

Jika ada yang ingin berkunjung ke Pusat Rehab Bukit Doa, silahkan saja. Mungkin nanti Anda bisa bertemu dengan pasien yang saya sebutkan di atas hehe. Komentar dan masukan sangat ditunggu! ^^

(Dokumentasi: pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline