Lihat ke Halaman Asli

Catatan Dari Dili

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertengahan tahun 2002 adalah awal mulanya aku mengenal sastrawan Indonesia (Pram) melalui buku tipis pemberian seorang sahabat sekolah, setelah merayakan hari ulang tahunnya di kamar yang bisa memuat sepuluh orang. Arak-arakan seperti ini merupakan ritual kami kalau ada sahabat yang berulang tahun. Ujun-ujunnya lupa diri karena mabuk berat. Ada yang kelakuannya berubah dratis, sangat sopan, alim dan mulai taat pada kepercayaanya.


Rumah itu berukuran kecil, kalau di Australia digunakan sebagai gudang sepatu, kayu dan pakain bekas. Tapi untuk generasi sekarang lebih keren kalau dijadikan studio musik. Rumah yang ber-ac asap rokok itu memiliki dua kamar. Kamar di sebelahnya dijadikan sebagai kamar mandi, kamar mandi ini ukurannya lebih besar dan memiliki bak yang berisi air dingin.


Setelah pelajaran sekolah usai dengan guru yang selalu memberikan aku sebatang rokok, aku datang ke rumah itu untuk lari dari pelajaran sekolah. Kadang rasa lapar yang selalu menuntut aku untuk berbuat sesuatu, (makan). Sebagaimana manusia, binatang dan tumbuhan membutuhkan tapi dengan cara berbeda secara alami.


Bagi remaja seperti aku setidak-tidaknya harus pandai bergaul dan berdiplomasi, Karena dengan melakukan relasi kemanapun kamu pergi selalu saja ada pertemuan. Sebagian masa remajaku aku habiskan di pinggir jalan Balide. Konon dijuliki "Rebal" yang artinya Remaja Balide. Di tembok-tembok tua ada lukisan kasar Bob Marley, kartun-kartun lucu. Di sini ada komunitas kecil. Dalam komunitas kami ada filosofi yang tidak tertulis dalam alkitab Rebal. Persahabatan adalah perdamaian.


Bila malam mulai tiba makan dengan apa adanya, aku menghabiskan sisa malamku di pinggir jalan. Bersama pemuda Rebal, bemain gitar, ditemani rokok dan alkohol merupan gaya anak muda banget. Di antara kami ada yang bekerja sebagai taxidriver, jadi ketika lagi duduk bermain gitar di pinggir jalan, ada taksi yang lewat dengan bungkusan rokok filter kretek terbang dari kaca jendela mendarat mulus di hadapan kami. Kami membagikan isi dalam bungkusan itu dengan cara sosialis.


Di jalanan lagu-lagu Rasta cukup akrab. Aku banyak belajar seperti bermain gitar, belajar bahasa tetun, bernyanyi, mabuk-mabukan, berkelahi, berpacaran, berdiskusi, berjualan dan bekerja. Masa lalu itu aku pelajari sebagai pengalaman hidup. Aku juga pernah dimaki, diusir, dituduh dsb. Itulah hidup dalam pandagan sempitku. Dalam persahabatan, berkeluarga selalu saja ada kebencian untuk saling menghina dan menjatuhkan. Dan hal itu tidak memandang apa filsafatmu. Tentu saja tidak semua sisi kehidupan dicap seperti itu.


By Lili Wanna




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline