Lihat ke Halaman Asli

Antara Aku, Iwan Fals dan Cewek Gitar

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya nama musisi legendaris Iwan Fals mungkin sudah terbiasa di telinga rakyat dari Sabang sampai Merauke. Lagu-lagunya yang berbau kritik sosial ini menjadi salah satu musuh utama orde baru. "Bento" yang mengkritik (ben)ih Soehar(to) (keluarga cenda) ini memiliki cerita tersendiri ketika Timor Leste masih bergabung dengan negara republik Indonesia.


Musik adalah karya seni murni. Ia bisa mewakili kehidupan sosial sebagai media untuk menyampaikan suara-suara yang bungkam karena sistem. Dari jaman dulu (ratusan tahun yang lalu) musik sudah diciptakan dan dimainkan untuk menghibur setiap individu, kelompok dalam budaya tertentu. Mereka menciptakan lagu-lagu tradisional untuk membunuh rasa capek seharian bekerja di hutan-hutan yang hijau. Dalam konteks modern, musik semakin populer dan siapaun bisa menjadi musisi karena teknologi telah memberikan ruang gerak yang luas untuk berkarya.

Akan tetapi Timor Leste dalam masa kepemimpinan Soeharto, lagu-lagu dari Jakarta seperti Iwan Fals cukup populer sampai di pelosok-pelosok terpencil. Para pedagang dari Jawa dan Sulawesi menjual sticker, kaset dan poster bung Iwan dengan harga lima ratus rupiah sampai puluhan ribu bisa kita dapatkan di pasar tradisional atau di pinggiran jalan.


Pada mulanya aku mengenal sosok seorang Iwan Fals dari sebuah sticker (wajah pribumi) dengan dua warna hitam dan putih. Foto itu mengundang beberapa pertanyaan. Siapa sebenarnya di balik wajah pribumi? Apakah ia seoarang tokoh politik? Suatu siang yang panas membakar kulit, di rumah saudara yang masih duduk di bangku SMA Baucau, aku mendengar ceramahnya tentang sosok yang satu ini. Di dalam kamar pribadi dan ruang tamu dihiasi poster bung Iwan dengan sebuah gitar akustik. Setiap pertemuan kami tanpa rencana selalu saja diskusi tentang musik, musik dan musik.


Pada waktu itu mendengar musik sambil mendiskusikan syair lagu-lagunya seperti "Galang Rambu Anarki, Belum Ada judul, Orang Pinggiran, Tikus-Tikus Kanto, Antara Aku, Kau Dan Bekas Pacarmu, Buku Ini Aku Pinjam, Kumenanti Seorang Kekasih dll.) merupan topik diskusi terpanas sepanjang siang dan malam. Diskusi tanpa rokok, kopi dan musik merupakan sebuah virus yang bisa menghancurkan suasana diskusi.


Sejak itu kalau aku punya sedikit uang (pemberian ibu jatah sekolah selama satu minggu seharga sepuluh ribu) aku harus pandai memanajemen uangku. Uang itu sebagain besar aku beli kaset Iwan Fals dan poster. Dalam kamarku banyak sekali poster musisi dari Indonesia dan luar negeri seperti Sepultura dari Brasil, Metallica dari Amerika dan masih banyak lagi yang sudah aku lupa.


Kegemaranku pada musik (pop dan rock) ketika aku masih duduk di bangku SMP. Dalam kesempatan itu, aku mulai meluangkan waktu untuk belajar bermain gitar pinjaman dari kawan-kawan. Seorang kawan baik bernama Leo,(sekarang menjadi gitaris dari salah satu band "Galaxy Band" di Timor Leste). Aku banyak belajar kunci gitar dari dia. Setiap hari sepulang dari sekolah selalu ada konflik perkelahian antar kelas, kami selalu bernyanyi di pinggir emperan toko-toko Cina yang sukses dalam bidang ekonomi.


Suatu hari kami berdua dipanggil kepala sekolah gara-gara membawa gitar ke sekolah dan bernyanyi di rumput hijau bersama cewek-cewek cantik. Alasan kepala sekolah memanggil kami karena kami ini bukan musisi tapi pelajar. Aku rasa ini pemikiran konyol atau kecemburuan sosial. Tapi kami selalu membawa gitar dengan sembunyi-sembunyi. Ada untungnya pada masa remaja itu, cewek-cewek mulai datang bergabung dalam kelompom kami untuk bernyanyi. Ini juga jalan terbaik untuk memanfaatkan situasi untuk mencari cinta, atau lebih populer cinta lokasi. Pada mulanya semua berhasil. Waktu itu kami dijuluki musisi sekolah karena kemana-mana selalu dengan cewek-cewek gitar.


Kisah kasih di sekolah adalah masa-masa yang sangat indah, berkesan penuh dengan warna. Kata orang, masa yang paling indah ketika masih duduk di bangku sekolah, segala sesuatu mudah dan tidak perlu berfikir tentang kehidupan. Dalam filsafat ajaran Buddha, "kesuksesan itu sendiri adalah kebahagian, ketika kamu sudah bahagia maka itulah kesuksesan", bukan materi, posisi dan jabatan. Masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu, dan sebenarnya tidak ada yang baru dalam kehidupan tetapi hanya pengulangan musik yang sudah puluhan tahun dimainkan. Masa lalu juga memiliki cerita cinta dan irama tersendiri dengan tokoh utama yang memperlakukan perempuan sebagai sahabat dan teman diskusi.


By Santos Robin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline