Lihat ke Halaman Asli

Lilis Edah Jubaedah

Guru di SMPN 1 Cilegon

Pandemi Covid-19 telah Membuat Ruang Kosong dalam Jiwa Peserta Didik

Diperbarui: 5 November 2022   06:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Munculnya wabah Covid-19 yang menyebabkan terjadinya pandemi tingkat dunia, telah menyebabkan ketertinggalannya dunia pendidikan pada dua tahun terkahir. Hasil Pendidikan yang biasanya dapat menjadi suatu kebanggaan orangtua atas prestasi peserta didik baik pada proses maupun setelah lulus, kini hanya menyisakan kekecewaan. Mengingat pembelajaran yang dilaksanakan secara dalam jaringan (daring) atau Belajar dari Rumah (BDR) selama pandemi Covid-19 tidak dapat membuahkan hasil yang maksimal. Terutama pada ranah sikap dikarenakan kurangnya sentuhan batin peserta didik dari guru secara langsung.

Begitu pun dengan guru-guru yang berperan sebagai pendidik, bisa dikatakan hanya sedikit sekali waktu yang diluangkan untuk melakukan pembinaan sikap peserta didik dengan optimal. Peserta didik yang pada kegiatan pembelajaran ada di rumah, tidak dapat dipantau secara holistik oleh guru dalam kegiatan perminggunya. Hal ini dikarenakan kegiatan pembelajaran selama daring, jam belajar tidak dilaksanakan secara utuh sesuai struktur kurikulum yang berlaku. Sesuai arahan dinas Pendidikan setempat, agar tidak menambah kesulitan orangtua dan peserta didik, maka pembelajaran hanya dilaksanakan satu kali pertemuan untuk setiap mata pelajaran dalam seminggu. Artinya anak-anak belajar tentang mata pelajaran apa pun hanya mendapatkan waktu dua jam waktu setiap mata pelajaran perminggunya.

Kegiatan pembelajaran daring dilakukan dari pukul 07.30 s.d pukul 12.00 WIB. Lima hari dalam seminggu, dua mata pelajaran perhari, dua jam setiap mata pelajaran. Artinya waktu pembelajaran untuk setiap mata pelajaran hanya 120 menit. Kurikulum yang diberlakukan sesuai arahan Mendikbudristek, adalah kurikulum darurat atau kurikulum balitbang.

Kenapa kurikulum sudah dipilih yang esensialnya atau dibuat darurat, tapi kok masih tidak maksimal dalam perolehan hasilnya dan kurang optimal dalam kegiatan pembelajarannya? Banyak yang menjadi kendala tentunya.  Bukan kurikulumnya yang bermasalah, tetapi ketidakberhasilan atau ketidakmaksimalan guru dalam membina peserta didik yang disebabkan oleh terbatasnya hubungan komunikasi secara langsung yang membuat situasi menjadi sulit untuk secara langsung mengetahui kelemahan atau kekurangan peserta didik, hingga guru kurang bisa membantu kesulitan tersebut. Yang kedua pembelajaran secara daring membutuhkan pelengkap lainnya yaitu gawai dan kuotanya. Maka, inilah yang juga membatasi bagaimana pembelajaran daring dilaksanakan seminimal mungkin.

Sangat berbeda hasil kegiatan pembelajaran secara daring dan tatap muka. Ternyata efek buruk dari adanya kegiatan pembelajaran secara daring adalah sikap peserta didik yang mungkin sama sekali kurang tersentuh. Sehingga Ketika pembelajaran sudah diijinkan atau diperbolehkan berdasarkan surat edaran Satgas Covid yang di dalamnya berisi kriteria lengkap tentang boleh tidaknya sekolah membuka pembelajaran tatap muka. Barulah terbaca apa kelemahan sikap peserta didik sebagai efek buruk dari pembelajaran daring.

Sesuai dengan yang telah diuraikan sebelumnya, hal ini terjadi bukan hanya karena waktu belajar yang kurang, tetapi juga hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai pendukung pemdidikan yang tepat dan bermakna. Dukungan orang tua itu sangat penting. Diantaranya, perhatian yang cukup terhadap putra-putrinya, memenuhi kuota dan gawainya, mendampingi ketika pembelajaran dilaksanakan, menanyakan kesulitan apa yang dialami, dan lain sebagainya yang sekiranya dapat membantu secara psikis putra-putrinya saat daring. Itu baru bagi yang orang tuanya mampu. Bagi keluarga yang kurang mampu, lebih banyak lagi kendala, mungkin jangankan mendampingi putra-putrinya, malah yang ada putr-putrinya menjadi tulang punggung mereka, karena menganggap bahwa sekolah di rumah itu bisa semena-mena tanpa aturan. Terbukti, dalam pembelajaran daring, ada saja peserta didik yang tidak hadir dalam kelas daring, dengan alasan yang kurang baik, tetapi ternyata karena atas perintah orangtua. Membantu mencari nafkah. Kegiatan itu baik sebenarnya, tetapi waktunya yang salah.

Sekarang baru terasa setelah pelaksanaan pembelajaran tatap muka, kami guru merasakan kesulitan dalam mencoba dan mencoba dengan berbagai cara untuk meluruskan sikap peserta didik yang seolah-olah sudah menemukan dunia yang memberi kenyamanan ketika pembelajaran dilaksanakan di rumah. Jadi di sekolah itu seperti penuh dengan peserta didik yang rata-rata hiperaktif. Seperti sekolah khusus kelompok hiperaktif. Hanya sedikit peserta didik yang bisa tenang dan betah duduk lama dalam kegiatan belajar. Keluar masuk kelas itu sering dilakukan walaupun hanya melakukan cuci tangan, buang air ludah, atau ke toilet, yang kalau dibandingkan dengan masa dulu sebelum pandemi itu jauh sekali perberbedaannya.

Kami juga sadar bahwa memang peserta didik itu selalu berubah atau berganti setiap tahun ajaran. Tetapi waktu itu, waktu sebelum pandemi, bukan anak-anak yang sekarang ada di hadapan kami. Akan tetapi perbedaan sikap antara peserta didik yang utuh pembejarannya secara tatap muka dengan yang hanya banyaknya waktu merupakan sisa-sisa pandemi. Bisa sambil rebahan, pembelajaran tetap bisa diikuti. Selain itu, banyak pendapat yang mengacaukan sistem pembelajaran ketika pandemi covid-19 melanda. Kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada peserta didik walau tidak logis tetap harus kita terima. Misalnya pemberian PR, pemberian tugas yang bersifat kelompok, orang tua yang kurang mendisiplinkan putra-putrinya, dan banyak lagi yang memang menyebabkan kekuatan semangat belajar peserta didik melemah, betul-betul melemah karena pandemi itu bernar-benar sudah membatasi segalanya.

Selain itu, kondisi wabah yang melanda mengakibatkan banyak masyarakat yang tidak bisa lagi bekerja mencari nafkah karena PHK atau memang dilarang beraktifitas di luar rumah yang akan menimbulkan korban pandemi semakin bertambah. Hal ini juga merupakan pemicu kekuatan belajar peserta didik menjadi melemah karena orang dengan kondisi cemas atau panik dengan masa pandemi dalam hal bisa tidaknya memenuhi kebutuhan keluarga dengan kondisi tidak mempunyai pekerjaan yang menjamin kebutuhan kehidupan sehari-harinya, itu menambah masalah di keluarga. Wajar kalau pemerintah melakukan program BLT, Kartu Pintar, PIP, dan jenis program linnya yang mendukung.

Dengan sisa-sisa tenaga, kami berusaha bangkit, dengan cara kami menyiapkan proses pembelajaran sebaik mungkin agar kegiatan pembelajaran bisa dilaksanakan dengan baik, terutama peserta didik dapat menikmati kebermaknaan pembelajaran dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan lahirnya kurikulum merdeka, merdeka mengajar, dan merdeka belajar, Kami manfaatkan semaksimal mungkin ruang itu walau baru mengikuti tahap implementasi kurikulum mandiri belajar, bagaimana kami berusaha untuk memperbaiki ketertinggalan tersebut "Learning loss" dengan lebih banyak membina sikap daripada menjelaskan materi. Diupayakan selalu satu materi pengetahuan dikaitkan dengan beberapa sikap dalam kehidupan. Semoga apa yang kami upayakan dapat mereka pahami tujuannya dan bisa menerapkan dalam kesehariannya. Semoga. Aamiin YRA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline