Lihat ke Halaman Asli

Lilis Edah Jubaedah

Guru di SMPN 1 Cilegon

Cinta Tak Berbalas

Diperbarui: 24 Oktober 2022   15:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seakan aku tak pernah punya rasa malu sebagai perempuan karena sering mengunjungi rumah ‘pacar khayalan’. Setiap aku ingat dia, pasti aku menyempatkan diri untuk datang ke rumahnya. Walaupun aku tahu dan yakin pasti gak akan ketemu dengannya. Karena memang aku dan dia sudah tidak ada hubungan apa-apa. Dia sudah mengatakan bahwa aku hanya pantas menjadi adiknya. Tapi hatiku gak mau terima. Aku sangat memelihara perasaanku untuknya. Jadi aku selalu mengikuti kata hatiku apapun itu. Siapa tahu ketemu. Selalu seperti itu harapanku. Tapi, gak ada, gak akan pernah ada perasaan itu dari dia. Aku tahu dan aku sadar sepenuhnya kalau aku ke rumahnya hanya akan menyakiti perasaanku saja, itu pasti. Tapi, dasar bodoh, dasar konyol, dasar nggak tahu malu, selalu dan selalu saja datang menemuinya. Padahal tahu persis setiap aku datang ke rumahnya, nggak pernah disuguhi keramahan walaupun hanya sedikit saja, Entahlah perasaan itu sangat menyakitkan. Tak dapat dipungkiri, memang hati hanya berisi dia satu-satunya, hatiku sudah terjerat cintanya yang palsu. Tapi aku sendiri, sekian tahun lamanya, gak pernah menyadari itu. Entahlah, kenapa aku nggak pernah mengerti tentang ini.

“Yulis, bisa gak minggu ini ke rumahku, kita harus bicara tentang kita, empat mata.” bunyi surat yang dia kirim untukku.

Entah ada setan apa dan dari mana, tiba-tiba ada sepucuk surat melayang ke alamat kostku di Bandung, padahal sekian lama dia tidak pernah menanyakan kabar apapun tentangku. Dasar memang hatiku yang selalu mengharapkan dia, gak pake pikir panjang. Kebetulan malem natalan. Berarti besok libur. Jadi kuputuskan untuk segera datang memenuhi undangannya. Apalagi isi suratnya menjurus ke hal yang selalu kutunggu “kita bicara tentang kita, empat mata saja”. Kata-kata itu membuat aku berbunga-bunga. Harapan yang selama ini telah bersemayam di dalam sanubariku, mendapat angin segar, seolah-olah ketika dibangunkan dari tidur sudah disiapkan teh manis hangat dan goreng pisang yang menarik karena warnanya coklat keemasan. Betapa bahagianya hatiku saat itu. Serasa dunia akan menjadi milikku dan akan kugenggam selamanya.

“Teh Yos, aku ada perlu, mau pulang dulu ya. Ada yang harus diurus dulu. Penting.” Kataku ke temen sekamarku.

“Oh, gitu. Ya boleh. Tapi jangan lama-lama, ya!”. Pesen Teh Yos padaku.

“Oke, sip.” Jawabku singkat.

“Ada apa nih beda, kok lebih ceria kelihatannya. Ayo isi surat yang tadi ada hubungannya dengan ini ya? Ledek Teh Yos, membuat aku malu-malu.

“Nggak, gak ada hubungannya. Ini mah cuma pengen pulang saja. Udah ah, udah sore takutnya kemaleman ke sananya. Ntar nggak dapat angkot.”,  jawabku menghindar.

Setelah berpamitan, aku buru-buru menuju terminal, kebetulan terminalnya memang deket kostanku. Jadi, ya tinggal jalan kaki saja.

Matahari sudah mulai condong ke barat, walaupun cerah secerah hatiku, tapi waktu sore itu tetep menyiratkan warna yang kurang terang seperti sinarnya di pagi hari. lama kelamaan sinarnya meredup. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 16.30. kendaraan yang kutumpangi sudah mulai melaju menuju arah Kebon Kalapa atau terminal Abdul Muis. Tapi aku berpikir gak usah naik bis, aku naik mobil Elp saja biar lebih cepet. Jadi kuputuskan turun di jalan Asia Afrika untuk melanjutkan naik bis kota yang menuju Cibeureum. Di Cibeureum biasanya sudah ada mobil-mobil Elp yang ngetem. Turun dari bis kota, aku langsung menuju mobil Elp tersebut supaya dapat tempat duduk yang kupikir nyaman, tidak terlalu depan dan tidak terlalu belakang. Di tengah memang cukup nyaman.

Sebentar-sebentar, aku lihat jam tanganku, waktu terus berkurang. Perasaanku mulai terganggu. Mulai khawatir kemaleman. Gimana kalau kemaleman khawatir tidak ada kendaraan lagi. Tapi ada yang lebih mengganggu lagi. Bayangan dia yang seperti mengikutiku sepanjang perjalanan. “Ah, kenapa bayangannya gak bisa hilang. Apakah aku masih mengharapkannya?” gumamku tak berjawab.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline