Ada anggapan bahwa flirting tidak jauh-jauh dari niatan seksual. Padahal, ada beberapa hal lain yang menjadi motif seseorang melakukan flirting. Motif-motif orang melakukan flirting ini dikemukakan di NIU Today oleh Profesor di Departemen Komunikasi Northern Illinois University, David Henningsen dalam artikel bertajuk "Why We Flirt".
Memang benar, ada motif yang disebut Henningsen adalah membuat kontak seksual, terlebih bagi laki-laki. Namun, ada juga motif lain, yakni untuk membuat hubungan menjadi lebih dekat, lebih erat, lebih komunikatif. Ada kalanya sepasang teman melakukan flirting dengan tujuan menjalin relasi romantis, seperti dalam kasus meeting dalam sebuah bisnis untuk membicarakan rencana kerja instansi/proyek kerja tertentu. Flirting dianggap mampu meningkatkan keintiman/hubungan erat dan harmonis.
Selanjutnya, flirting dianggap sebagai cara "tes ombak" dan mengeksplorasi sosok yang didekati. Tidak semua orang bernyali dan senang menyatakan rasa suka secara gamblang kepada orang lain. Lewat flirting, ia bisa mengira-ngira apakah yang didekati merespons dengan positif atau tidak.
Dari kacamata evolusi, Steven W. Gangestad, Ph.D., psikolog evolusi dari University of New Mexico, Albuquerque, mengatakan di Psychology Today, "Flirting adalah proses negosiasi yang muncul setelah ada ketertarikan awal. Serperti halnya mengatakan 'saya tertarik kepadamu, apakah kamu tertarik kepada saya' tidak begitu mujarab untuk menciptakan ikatan bagi dua orang. Akan lebih baik bila mengungkapkan ketertarikan dengan perlahan-lahan."
Di samping itu, flirting dianggap sebagai cara yang lumrah/wajar dilakukan untuk tujuan perkembangbiakan/keturunan. Dikatakan dalam tulisan di Scientific American, akan menguntungkan bagi laki-laki yang mengirimkan sinyal ketertarikan bila ia mendapat respons dari perempuan yang dituju. Bila ia menerjemahkan respons si perempuan sebagai hal yang positif, ia tak perlu buang-buang tenaga dan waktu untuk selanjutnya melakukan pernikahan. Namun, bila yang terjadi adalah sebaliknya, si laki-laki salah membaca tanda, dia akan kehilangan kesempatan nikah sehingga berpengaruh terhadap proses penerusan keturunannya.
Terlebih lagi mengenai flirting sebagai cara mengeksplorasi seseorang, Henningsen berpendapat, "Keindahan flirting terletak pada ambiguitasnya. Bila usaha flirting berujung hal yang tidak diharapkan, ambiguitas flirting membuat seseorang mengklaim mereka tidak benar-benar serius melakukannya [mendekati orang lain secara romantis]. Dengan demikian, informasi tentang orang lain bisa diperoleh tanpa harus seseorang kehilangan mukanya." Flirting juga dipandang Henningsen sebagai cara bersenang-senang. Selain mendapat kesenangan, flirting dapat pula memompa penilaian diri seseorang dan orang yang didekati. Kerap kali flirting melibatkan sanjungan atau ekspresi kekaguman terhadap orang lain. Di sisi orang yang didekati, hal ini bisa membuatnya merasa lebih berharga, lebih tenang, lebih nyaman, lebih bahagia karena ada sisi dirinya yang menjadi daya pikat bagi orang lain tersebut. Sementara di sisi orang yang melakukan flirting, respons positif dari orang yang didekati juga bisa mendongkrak penilaian diri, karena orang lain menganggapnya atraktif.
Kendati flirting dikatakan memiliki fungsi evolusi dan bisa berdampak positif secara psikologis, tetap ada sisi gelap, sisi negatif yang dimilikinya. Salah satunya adalah ketika flirting dilakukan demi kepentingan personal atau bermotif manipulasi. Henningsen menjelaskan, flirting bisa dilakukan supaya orang mendapat suatu barang, jasa, atau bantuan tertentu. "Tipe semacam ini disebut instrumental flirting, biasanya terjadi di ranah kerja".
Problem berikutnya dari flirting adalah saat yang didekati tidak mengharapkan aksi-aksi tersebut. Hal ini bisa dikategorikan sebagai pelecehan saat ada bahasa verbal, gestur, atau sentuhan yang tidak diinginkan terjadi. Kesadaran akan pelecehan---terlebih terhadap perempuan---yang merebak sekarang ini bagi sebagian orang dipandang sebagai suatu kemajuan, hal yang biasa, tapi ada juga yang justru melihatnya sebagai sesuatu yang negatif dan membuat komunikasi dan hubungan menjadi kaku. Hal ini tidak boleh terjadi pada seseorang yang berpendidikan dan berakhlak mulia serta berhati bening, jernih, sadar berfikir.
Lebih lanjut, soal pelecehan dalam konteks flirting, filsuf Slovenia Slavoj Zizek pernah menulis, efek samping dari maraknya kesadaran pelecehan seksual di Barat adalah pandangan bahwa perempuan---yang kerap menjadi sasaran flirting---merupakan obyek yang pasif/tak mampu menolak/tak mampu berfikir bening jernih/tak sadar. Padahal, ada kalanya mereka juga melakukan flirting dan secara aktif membuat gestur atau berpenampilan tertentu sebagai wujud ekspresi seksualnya. Perempuan, seperti halnya laki-laki, bisa juga memanipulasi lewat aksi-aksi flirting. Isu pelecehan seksual yang dibesar-besarkan sebagian pihak juga dipandang Zizek membunuh mood. Flirting yang awalnya bisa dilihat sebagai sesuatu yang menyenangkan berubah mendatangkan kewaspadaan berlebihan yang membuat seseorang tak luwes membangun komunikasi dan relasi. Indikator-indikator pelecehan seksual yang dibuat beberapa pihak pada akhirnya bisa menjadi bahan penghakiman terhadap seseorang yang sebenarnya menikmati atau tidak keberatan menerima godaan atau perlakuan tertentu dari orang lain. "Kontrak-kontrak" berperilaku seperti yang disetir orang-orang pendefinisi pelecehan seksual pada akhirnya meredam hasrat seseorang untuk melakukan aksi seksual seremeh apa pun, meski padahal kedua belah pihak tidak bermasalah dengan hal tersebut. Zizek menarik salah satu kesimpulan, bahwa political correctness merupakan reduksi seksualitas ke perkara perjanjian yang saklek semata.
Jadi sebagai seorang perempuan atau laki-laki sebisa mungkin mengetahui cara-cara yang benar dalam flirting sehingga peran flirting benar-benar menjadi hal yang positif. Sebab menurut ungkapan Pooja, seorang relationship dan dating coach, tarot expert, sekaligus coach bersertifikat lulusan University of Yale, "Banyak sekali perempuan/laki-laki yang tidak tahu bagaimana cara melakukan flirting. Sebagian dari mereka bahkan sudah gugup dan berkeringat dingin saat berdekatan dengan laki-laki yang mereka suka. Hal ini membuat proses flirting jadi lebih sulit".