Lebaran ini saya tidak pulang kampung. Lebaran lalu juga tidak.
Weleh-weleh. Apa saya sudah jadi orang durhaka?
Setelah selancar sana-sini, ternyata Lebaran itu punya arti silaturahmi, libur dari rutinitas sehari-hari, momen untuk mengingat masa lalu, dan juga unjuk diri. Biasanya momen Lebaran diikuti dengan reuni. Reuni kelas, atau reuni kantor.
Apa hubungannya dengan anak durhaka? Nah, lha kok ada anak yang nggak pulang sungkem kepada orangtuanya di hari istimewa ini. Nggak merawat Bapaknya. Nggak inget Bapaknya. Pasti ada tetangga yang ngerasani. Kan biasanya para penghuni RT keliling sambil bawa anak dan memperkenalkan cucunya. Ini anak si Fulan, sudah SD, blablabla. Masa saya tega membiarkan Bapak saya keliling RT sendirian. Sungguh teganya….
Apa asyiknya lebaran jauh dengan keluarga? Ya nggak enak! Apalagi soal makan. Lebaran itu identik dengan ketupat opor ayam. Saya di rantau hanya berdua suami, yang tidak mempermasalahkan saya mogok masak karena opor saya nggak sedap, ada bumbu yang kurang, mutung karena males melanjutkan toh ujungnya nggak enak. Saya juga mau kok opor ayam, sambal goreng hati, rendang daging, kering kentang, dan yang paling ditunggu: ketupat! Tapi nasib anak kos, nggak punya cukup perkakas untuk membuat itu semua. Boro-boro bikin kastangels dan nastar, bikin lontong aja nggak.
Sebetulnya, Bapak tidak mempermasalahkan saya tidak pulang Lebaran karena tahu saya sudah menjadwalkan cuti nanti tanggal 20 supaya bisa minta cuti lebih panjang. Apalagi beliau (dan juga saya) sangat malas bepergian dengan kondisi tidak nyaman. Tapi ntaran saya dibilang tetangga sono anak durhaka Bapak apa nggak apa-apa? Bapak saya nyengir kuda sambil bilang “Bapak bilangin kamu kerja sama Londo, wehehe.” Ini dah enaknya kerja sama bule, bisa dijadikan kambing. Eh…
Lebaran di Bali itu sebenernya khidmat banget. Nyess adem. Walaupun jauh dengan tradisi kampung halaman, tapi semua syarat lebaran terpenuhi kok. Mau sholat Ied juga nggak ada yang melarang, malah lebih tertib karena terpusat. Kalau mau makan juga bisa cari bahan ke supermarket yang selalu buka. Asyiknya, kalau di Jawa bumbu jadi opor, rendang, dan kari biasanya sudah habis sejak sebelum lebaran. Kalau di Bali bumbu-bumbu itu masih bisa ditemukan! Yang agak sulit tahun ini malah waktu nyari kue, nastar dan kastengels sudah pada di paketin dengan harga yang uuhhhh…… Padahal saya cuman perlu dua macam kue itu aja buat kelengkapan syarat.
Seperti di kota besar yang lain, Lebaran di Denpasar juga sepi. Terutama pas hari H tanggal 6 dan 7. Sepi banget jalanan tapi cuaca sedang panas banget, jadi malas mau jalan-jalan. Hasilnya saya cuman ndekem aja di kosan sambil mainan dengan trio meong. Nih si belang akhirnya inget yang mana rumahnya, haha. Karena dia gemuk dan lucu, tetangga saya banyak yang sayang dan suka kasih makan. Sekarang tetangga pada pulang, si belang jadi inget jalan pulang untuk ngemil makan dan tidur siang. Nikmaattt…..
Nah, sedang asyik-asyiknya baca berita tentang tradisi lebaran, kok ada berita korban jiwa saat mudik. Ini yang bikin pilu yaa. Pas moment kita bersih kembali, di jalanan pasti sudah kotor sekali itu mulut dan hati kepingin maki-maki para penerobos yang seakan tidak peduli kemacetan dan malah bikin nggak karuan. Faktor kelelahan, dehidrasi, dan keracunan CO2 menjadi momok untuk para pemudik. Sebenernya sih saya kepingin bilang supaya atur-aturlah libur Lebarannya supaya kita bisa bepergian dengan tenang.
Tapi apalah saya, yang tega nggak mudik pas Lebaran. Hik hik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H