[caption caption="Sumber: people.com"][/caption]Siapa yang tidak kenal Pentatonix? Atau, siapa yang kenal Pentatonix? Grup vokal akapella yang terdiri dari 5 orang yang luar biasa ini bukan grup sembarangan. Saya bilang ‘a match made in heaven’, orang-orang yang ditakdirkan untuk bertemu satu sama lain.
Kalau dengar akapella dan lagu-lagu akapella, saya yang dulu akan membayangkan Boyz II Men dengan lagu andalannya "End Of The Road", atau All 4 One dengan “I Swear”. Tapi Pentatonix adalah grup pendobrak, yang dinyatakan oleh Shawn Stockman (anggota Boyz II Men) yang juga juri Sing-Off “You guys are sent from the future to save acapella”. Mereka meramu lagu-lagu ngetop dan mengaransemennya supaya bisa dinyanyikan secara akapella secara efektif. Karena itulah, Pentatonix yang hanya beranggotakan 5 orang tidak kalah dengan grup akapella lain yang jumlahnya bisa sampai 20 orang.
Jika tahun 90-an, All 4 One dikritik karena beranggotakan 1 orang kulit putih (akapella identik dengan orang kulit hitam), maka Pentatonix adalah kebalikannya. Mereka beranggotakan 4 kulit putih dan 1 orang kulit hitam. Keunggulan Pentatonix adalah, mereka punya fan base yang sangat luas. Baik secara etnik, agama, usia, dan gender. Latar belakang etnik masing-masing anggota memang unik. Saya kurang tahu tentang Hoying dan Kaplan, tapi Grassi adalah keturunan Italia-Irlandia, Maldonado keturunan Latin, Olusola keturunan Nigeria. Anggota Pentatonix juga punya latar belakang agama yang berbeda. Walaupun sesama Kristen, Olusola adalah seorang Advent.
Seringkali dia tidak sependapat dengan kawan satu grupnya tentang sebuah lagu karena lirik asli lagu itu dinilainya terlalu seronok. Tidak jarang Pentatonix mengganti lirik yang vulgar maupun umpatan dengan kata lain. Dan Kaplan adalah seorang Yahudi. Walaupun begitu dia tidak keberatan menyanyikan lagu-lagu Natal, yang mana adalah kekuatan musik akapella. Dan, karena lirik lagu mereka ‘sopan’, Pentatonix punya banyak penggemar mulai dari anak-anak sampai kakek-nenek. Selain itu mereka juga punya dukungan dari komunitas LBGT. Hoying dan Grassi masing-masing adalah gay, dan Maldonado mendapat dukungan dari kalangan perempuan karena dia satu-satunya perempuan diantara keempat rekannya yang lelaki. Selain itu, kelima orang tersebut secara penampilan memang menarik, cantik dan tampan.
Seperti kebanyakan orang tahu, kisah Pentatonix dimulai saat trio SMA yang saat itu masih berusia 18 tahunan, Scott Hoying, Kristie Maldonado, dan Mitch Grassi , menjajal peruntungan mereka melalui ajang pencarian bakat ‘Sing-Off’ ke-3 pada tahun 2011. Yang membedakan Sing-Off dari Idols atau X-Factor, kompetisi menyanyi Sing-Off adalah akapela. Alias tanpa musik. Trio ini kesulitan saat mau mendaftar penyisihan Sing-Off karena jumlah orang dalam grup minimal 5 orang. Scott Hoying, leader grup ini memutuskan mencari 2 orang lainnya lewat koneksi atau internet. Bass vokal Avi Kaplan ditemukan Hoying melalui kenalannya, sementara beat boxing Kevin Olusola ditemukan Hoying melalui…Youtube. Trio SMA itu baru bertemu dengan Kaplan dan Olusola 24 jam sebelum acara penyisihan Sing-Off.
Tapi karena mereka memang ditakdirkan bersama, mereka langsung klik dan membuat juri terpukau pada audisi pertama mereka. Setelah Pentatonix memenangkan kontes menyanyi Sing-Off, tidak serta merta mereka jadi terkenal seperti juara ajang menyanyi lain. Akapela dinilai tidak punya nilai jual. Sekarang ini jamannya EDM, dance-pop, K-Pop. Karenanya, hadiah kontrak dengan Epic Records dimentahkan oleh perusahaan rekaman anak dari Sony ini. Pentatonix harus berjuang secara bawah tanah. Mereka memanfaatkan Youtube. Dengan pengaruh Youtube dan luasnya fan base mereka, Pentatonix bisa melakukan tur keliling dunia bahkan sebelum bergabung dengan label rekaman besar.
Pentatonix sukses mengaransemen lagu-lagu Top 40 untuk bisa dinyanyikan secara akapela. Beatbox Olusola yang luar biasa dan suara rendah Kaplan membuat lagu-lagu Pentatonix punya jiwa. Harmonisasi Hoying, Maldonado, dan Grassi tidak membuat orang bosan. Malah pintu sukses terbuka saat pentatonix mengeluarkan album Natal, That’s Christmas To Me (2014) yang nongol di posisi 4 sebagai album paling laku selama 2014. Yang membuat mata menoleh, di tahun ini pula Taylor Swift mengeluarkan album ektra dahsyatnya, 1898.
Pentatonix dengan album Natalnya berhasil mengejar Taylor Swift! Album That’s Christmas To Me juga menjadi album paling laku semenjak tahun 1962 untuk penjualan album lagu Natal. Pentatonix meramu semua ciri khas dan kekuatan mereka, mengaransemen lagu lama menjadi fresh dengan memadukan unsur modern. Mereka membuat sendiri aransemen ulang lagu Top 40 sehingga bisa mereka nyanyikan live.
Dan Pentatonix berhasil membuat hal yang tidak mungkin menjasi mungkin, membuat orang-orang menari di klub diiringi musik akapella! Seorang komposer, Rob Kapilow, membedah mengapa lagu klasik Angels We Have Heard On High menjadi sangat luar biasa di tangan Pentatonix. Dan hal ini membuat saya merinding, betapa hebatnya orang-orang yang tergabung dalam Pentatonix ini. Mereka bukan hanya penyanyi. Tapi mereka juga komposer, tahu teori, dan hebat dalam implementasi. Passion mereka terhadap musik sangat dalam, mereka biasa melakukan improptu jam session secara iseng.
[caption caption="sumber: grammy.com"]
[/caption]
Hadiahnya, Pentatonix mendapatkan Grammy Awards tahun 2015 untuk kategori Aransemen Terbaik Pada Instrumental Atau Vokal dengan lagu medleynya, “Daft Punk”. Video ini pula yang pertama kali saya tonton saat belum mengenal mereka. Lagu-lagu Daft Punk yang saya kenal baik menjadi sebuah perjalanan euforia yang dahsyat di tangan Pentatonix. Dan itu semua berasal dari dalam kepala anak-anak muda berusia awal 20 tahunan ini! Tapi seperti kata pepatah, bakat saja tidak cukup, dan kerja keras juga seringkali tanpa hasil. Pentatonix berhasil memadukan semua unsur yang menjadikan mereka sukses; bakat, kerja keras, ilmu, dan waktu yang tepat.