Lihat ke Halaman Asli

Lilin Rofiqotul

Putri kelahiran banyuwangi

Konseling Krisis dan Cara Menangani Korban Kekerasan dan Pelecehan Seksual pada Anak

Diperbarui: 6 Desember 2019   23:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendekatan Konseling Krisis oleh Konselor Dalam Menangani Korban Kekerasan dan Pelecehan Seksual Pada Anak


Oleh Saidatur Rohmatun Nisa'
17410021-C


Masalah kekerasan seksual, bullying dan perceraian menjadi alasan utama traumatik yang dialami mentah anak-anak dan remaja pada umumnya kini. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAl) pada tahun 2016 melakukan penelitian dan hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa Indonesia pada saat ini mengalami kondisi lampu merah kejahatan seksual pada anak maupun remaja dan meningkat 100% dari tahun sebelumnya dan diprediksi akan senantiasa bertumbuh kedepannya.

Hal ini didukung pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komnas Perlindungan Anak (PA) Indonesia di tahun 2018 yang memiliki data setidaknya terdapat 965 kasus pelanggaran hak anak sepanjang Januari hingga Juni. Dari kasu tersebut didapati 52 persen didominasi oleh kejahatan seksual, dan perempuan menjadi mayoritas korban dalam kasus kejahatan seksual baik kekerasan maupun pecehan seksual.

Data UNICEF menunjukkan 1 dari 10 anak perempuan di dunia kejahatan seksual namun tidak menutup kemungkinan anak laki-laki dapat menjadi korban karena tingginya kasus sodomi yang terjadi akhir-akhir ini. Anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual cenderung menutup diri atas kasus yang dialaminya karena mereka tidak mengerti apa yang terjadi dan apa yang mereka harus lakukan, namun hal ini tanpa disadari mempengaruhi kesehatan mental mereka.

Dalam sebuah penilitan yang menghimpun 65 penelitian yang berasal dari 22 negara, ditemukan sejumlah hal menarik. Salah satunya adalah diperkirakan sebanyak 7,9 persen anak laki-laki dan 19,7 persen anak perempuan secara global pernah mengalami pelecehan seksual sebelum usia 18 tahun. Angka ini cukup tinggi. Berdasarkan penelitian tersebut juga korban cenderung tidak mau pelaporkan dengan berbagai macam alasan seperti rasa malu, takut, victim blaming oleh masyarakat, ketidaktahuan dan lain sebagainya. Fakta yang cukup mencengankan adalah pelaku kebanyakan masih berasal dari lingkungan si korban dengan berbagai modus.

Pelecehan seksual terhadap anak memberikan dampak yang cukup fatal kepada anak sebagai korban. Dampaknya tak hanya terasa tak hanya dari psikis namun juga dari aspek psikis seperti munculnya traumatik berkepanjangan yang berimplikasi pada penurunan nafsu makan, penutupan diri dari sosial, stress, depresi, goncangan jiwa, adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan dengan orang lain, bayangan kejadian dimana anak menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, ketakutan dengan hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Dampak pelecehan seksual yang terjadi ditandai dengan adanya powerlessness, dimana korban merasa tidak berdaya dan tersiksa ketika mengungkap peristiwa pelecehan seksual tersebut.

Ikatan dokter Indonesia dalam Buku Pedoman Deteksi Dini, Pelaporan Dan Rujukan Kasus Kekerasan Dan Penelantaran Anak merumuskan bahwa dampak langsung dari anak korban kekerasan seksual dapat diamati secara langsung berupa tanda akibat trauma atau infeksi lokal, seperti nyeri perineal, sekret vagina, nyeri dan pendarahan anus, tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi kurang, enuresis, enkopresis, anoreksia dan perubahan tingkah laku, kurang percaya diri, sering menyakiti diri sendiri dan sering mencoba bunuh diri dan tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya.

Beberapa kasus kejahatan seksual berupa pelecehan dan kekerasan seksual pada anak sering kita dapati terjadi di Indoensia. Seperti kasus Yuyun, seorang siswa SMP berumur 14 tahun yang diperkosa 21 remaja yang beberapa diantaranya adalah orang dewasa pada tahun 2016.  Pada awal tahun 2018, juga terjadi kasus pelecehan seksual olehpredator pedofilia terhadap 41 anak di bawah umur. Pelaku yang disebut sebagai predator pedofilia tersebut merupakan sosok yang dikenal sebagai guru dilingkungannya. Korban dimingi imingi akan diajari ilmu mengenai semar mesem dan bisa mengobati penyakit, namun harus bersedia di sodomi. Kedua kasus ini adalah representasi bahwa Indonesia darutat kekerasan seksual pada anak dan perlu penyelesaian yang komprehensif oleh setiap aktor, salah satunya konselor.

Konselor memiliki fungsi yang fundamental dalam proses konseling baik dari segi upaya preventif maupun upaya penyembuhan. Menurut McLeod (2006), konseling mencakup bekerja dengan banyak orang dan hubungan yang mungkin saja bersifat pengembangan diri, dukungan terhadap krisis, psikoterapis, bimbingan atau pemecahan masalah. Dalam hal ini anak korban kekerasa dan pelecehan seksual berada dalam situasi kritis yang membutuhkan dukungan.

Individu yang mengalami krisis melalui proses yang penuh ketidakpastian secara bertahap, yaitu mengalami specific precipitating event (peristiwa spesifik yang datang secara tiba-tiba) salah satunya ketika menjadi korban kekerasan seksual, lalu individu menghadapi peristiwa spesifik yang datang secara tiba-tiba tersebut dengan perasaan terancam dan senantiasa diliputi kecemasan tinggi, respon yang ditunjukkan individu cenderung tidak terorganisasi dan tidak efektif, dan individu mengembangkan strategi koping yang disebabkan oleh stres. Hal ini yang akan berimplikasi pada perubahan pola perilaku yang menjurus ke negatif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline