Lihat ke Halaman Asli

Lilin Hardiyanti

Mahasiswa/Universitas Jember

Kenaikan UKT 2024: Kebijakan yang Mencekik Mahasiswa

Diperbarui: 5 Juni 2024   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada tahun 2024 telah menimbulkan berbagai reaksi dari kalangan mahasiswa dan orang tua. Kebijakan ini dinilai tidak hanya memberatkan secara finansial, tetapi juga berpotensi memperburuk ketimpangan akses pendidikan tinggi di Indonesia.

Kebijakan ini diklaim oleh pemerintah sebagai langkah untuk menyesuaikan biaya pendidikan dengan inflasi dan kebutuhan operasional kampus yang semakin meningkat. 

Selain itu, dana tambahan dari kenaikan UKT diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan, fasilitas, serta kesejahteraan tenaga pengajar. Namun, kenyataannya, banyak mahasiswa yang merasa keberatan dan terbebani dengan kebijakan ini.

UKT adalah sistem pembayaran biaya kuliah yang diperkenalkan untuk mengurangi kesenjangan antara mahasiswa kaya dan miskin. Namun, kenaikan UKT yang signifikan di banyak universitas justru mencederai semangat awal kebijakan tersebut. Dengan biaya kuliah yang terus meningkat, banyak mahasiswa yang berasal dari keluarga dengan penghasilan menengah ke bawah merasa tercekik dan terancam harus mengakhiri pendidikan mereka lebih cepat.

Salah satu argumen utama dari pihak universitas adalah bahwa kenaikan UKT diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, fasilitas, dan kesejahteraan dosen. Namun, apakah benar kenaikan ini sebanding dengan peningkatan kualitas yang dijanjikan? 

Banyak mahasiswa mengeluhkan bahwa meski UKT naik, mereka tidak merasakan perbaikan yang signifikan dalam hal fasilitas atau kualitas pengajaran. Peralatan laboratorium yang usang, gedung yang kurang terawat, serta akses terhadap sumber belajar yang terbatas masih menjadi masalah yang umum ditemui.

Di sisi lain, pemerintah dan universitas sering kali berargumen bahwa subsidi pemerintah untuk pendidikan tinggi tidak cukup untuk menutup biaya operasional kampus. Namun, argumen ini perlu dikritisi lebih lanjut. Apakah alokasi anggaran pendidikan sudah dikelola dengan efisien dan transparan? Apakah prioritas pengeluaran universitas sudah tepat sasaran? Tanpa adanya audit dan transparansi yang memadai, sulit bagi masyarakat untuk menerima alasan-alasan yang diberikan tanpa kecurigaan.

Efek dari kenaikan UKT ini tidak hanya dirasakan oleh mahasiswa saat ini, tetapi juga calon mahasiswa yang mungkin berpikir dua kali untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ini sangat disayangkan karena pendidikan tinggi seharusnya menjadi sarana mobilitas sosial yang efektif, terutama bagi mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi yang kurang beruntung.

Mahasiswa yang saat ini sedang menempuh pendidikan pun terpaksa mencari cara untuk menutupi kekurangan biaya. Banyak yang harus bekerja paruh waktu atau bahkan penuh waktu sambil kuliah, yang pada akhirnya berdampak pada konsentrasi dan performa akademis mereka. Tekanan finansial ini juga bisa memicu masalah kesehatan mental, seperti stres dan kecemasan, yang pada gilirannya mempengaruhi kesejahteraan dan produktivitas mahasiswa secara keseluruhan.

Selain itu, kenaikan UKT ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan sosial. Mahasiswa dari keluarga kaya mungkin tidak terlalu terdampak oleh kenaikan ini, sementara mereka yang dari keluarga miskin harus memutar otak untuk mencari tambahan dana. Ketimpangan ini berpotensi memperdalam jurang antara kaya dan miskin dalam hal akses dan kualitas pendidikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline