Sekarang ini, warga Semarang sedang diselimuti ketakukan akibat adanya "kreak" yang semakin merajalela. Fenomena "kreak" di Semarang menggambarkan kelompok pemuda yang terlibat aksi kriminal di jalanan. Istilah ini berasal dari kata "kere" dan "mayak", yang awal mulanya merujuk pada gaya hidup mewah atau "hedon" yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, istilah ini bertransformasi menjadi gangster yang melakukan tawuran dan kekerasan yang bahkan mengakibatkan korban jiwa.
Ternyata fenomena ini bukanlah hal baru bagi kota-kota besar, namun kemunculannya yang semakin meluas memang sedang banyak dibicarakan. Mungkin sejak tersiar kabar kasus pembacokan mahasiswa Udinus Semarang yang merupakan korban salah sasaran. Kasus pembacokan, pengeroyokan, tawuran dengan senjata tajam, serta tindak kekerasan lainnya yang semakin meningkat, membuat masyarakat umum terlebih mahasiswa rantau merasa tidak aman bahkan takut untuk beraktivitas di luar ketika malam hari.
Munculnya gengster di Semarang tidak dapat dipisahkan dari berbagai faktor sosial, ekonomi, dan politik. Beberapa pemuda merasa terpinggirkan secara sosial dan ekonomis, yang mendorong mereka untuk bergabung dengan gangster sebagai cara untuk mengatasi tantangan hidup. Lingkungan yang kurang mendukung, seperti ketersediaan lapangan kerja yang terbatas dan pendidikan yang tidak merata, turut berkontribusi pada fenomena ini. Dalam era yang serba canggih ini, munculnya gangster tak lepas dari pengaruh buruk media sosial:
- Pemicu Persaingan dan Tantangan
Media sosial, terutama platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook, memungkinkan para pemuda untuk saling menantang dan membangun reputasi di kalangan anggota kelompok. Tawuran dan aksi kekerasan sering kali diorganisir dan dipromosikan melalui media sosial, di mana mereka merasa perlu membuktikan keberaniannya untuk mendapatkan ketenaran.
- Validasi Sosial dan Popularitas
Sekarang ini, media sosial digunakan untuk mencari validasi sosial. Dokumentasi dan pembagian video tawuran di platform-platform media sosial memberikan mereka likes dan komentar yang dianggap sebagai bentuk pengakuan dan popularitas. Hal ini dapat mendorong lebih banyak pemuda untuk terlibat dalam kegiatan kekerasan untuk mendapatkan perhatian yang sama.
- Penyebaran Konten Kekerasan
Beberapa konten kekerasan mudah sekali viral di sosial yang menarik perhatian lebih banyak para pemuda. Konten-konten kekerasan sering kali dianggap sebagai sarana unjuk kekuatan dan keberanian, yang pada akhirnya memancing lebih banyak para pemuda untuk ikut terlibat.
- Tekanan Gaya Hidup dan FOMO
Media sosial juga menciptakan tekanan gaya hidup dan rasa takut ketinggalan tren sosial (FOMO -Fear of Missing Out). Para pemuda merasa tertekan untuk tetap eksis di mata teman-temannya, yang sering kali mendorong mereka untuk melakukan aksi yang berbahaya agar tidak tertinggal oleh tren sosial yang ada.
- Kurangnya Pengawasan
Penggunaan media sosial yang tidak diawasi dengan baik oleh orang tua dan lingkungan juga berkontribusi pada meningkatnya kekerasan di kalangan pemuda. Kurangnya bimbingan moral dan pengawasan membuat mereka lebih mudah terpengaruh oleh konten negatif yang tersebar di media sosial.
Pemerintah dan aparat penegak hukum telah mengambil berbagai langkah untuk menangani fenomena gengster ini. Patroli rutin, penegakan hukum yang lebih tegas terhadap tindak kriminal, program rehabilitasi bagi anggota geng, serta upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi fokus utama. Disisilain, penting bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam mengatasi fenomena gengster ini. Komunikasi yang baik antarwarga, penguatan nilai-nilai sosial, serta mendukung program-program pemerintah dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman. Mengenai media sosial yang turut memicu terjadinya fenomena gangster, langkah-langkah penanggulangan yang dapat dilakukan yaitu:
- Pendidikan Etika Media Sosial
Dengan pengadaan program sosialisasi tentang etika bermedia sosial di sekolah-sekolah untuk meningkatkan kesadaran para pemuda mengenai dampak positif dan negatif dalam bermedia sosial. Dengan hal ini, para diharapkan bisa bijak dalam menggunakan media sosial.
- Pengawasan Keluarga
Pengawasan akif dari orang tua sangat diperlukan. Orang tua diharapkan untuk lebih aktif mengawasi penggunaan media sosial anak-anak mereka. Dapat pula dengan melakukan diskusi terbuka tentang konten yang mereka konsumsi sehingga dapat membantu mengurangi risiko terpengaruh oleh konten negatif.
- Ruang Ekspresi Positif