Lihat ke Halaman Asli

Lilik Ummu Aulia

Creative Mommy

Tapera, Tabungan Perumahan Rakyat atau Tambahan Penderitaan Rakyat?

Diperbarui: 17 Juni 2024   11:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) adalah perangkat untuk mengelola dana masyarakat secara bersama-sama dan saling tolong-menolong antara peserta untuk menyediakan perumahan yang murah dan terjangkau bagi peserta.

Pelaksanaan Tapera telah diatur di dalam UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Selanjutnya, tentang penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat diatur dalam pp Nomor 25 tahun 2020 yang kemudian direvisi melalui pp Nomor 21 Tahun 2024.

Dalam pp Nomor 25 tahun 2020 disebutkan bahwa setiap pekerja yang berusia minimal 20 tahun yang memiliki penghasilan minimal upah minimum, maka diwajibkan untuk mengikuti Tapera. Sementara itu, dalam pp Nomor 21 Tahun 2024, pasal 7 menyebutkan bahwa yang wajib untuk mengikuti Tapera adalah PNS, TNI-Polri, Pegawai BUMN, termasuk pekerja swasta dan pekerja lainnya yang menerima gaji.

Dalam pp Nomor 21 Tahun 2024 pasal 15 (ayat 1 dan 2), dijelaskan bahwa besarnya Tapera yang harus dibayarkan adalah sebanyak 3% (0,5% dibayarkan pemberi kerja dan 2,5% dibayarkan oleh pekerja). Dana Tapera ini bisa diambil oleh peserta jika masa kepesertaan habis, yaitu sudah pensiun atau meninggal dunia. Berdasarkan pp Nomor 25 tahun 2020, telah diatur bahwa ketika masa kepesertaan habis, maka peserta akan mendapatkan dana simpanannya beserta hasil pemupukannya (bunga/ribanya).

Pelaksanaan pp Nomor 21 Tahun 2024 akan berlaku efektif pada 2027. Meskipun demikian, penerapan kebijakan ini justru akan semakin memperberat tanggungan di pundak rakyat. Besarnya berbagai pajak yang harus dibayar, wajibnya keikutsertaan dalam BPJS Kesehatan dan besarnya potongan Tapera yang harus dibayarkan akan semakin membuat rakyat terhimpit. Belum lagi, adanya kenaikan berbagai bahan kebutuhan dasar.

Negara seharusnya tidak menjadikan pajak dan berbagai pungutan ini sebagai sumber pendapatan. Apalagi, gaji per bulan para pengelola berbagai pungutan ini sungguh fantastis. Negara seharusnya hadir untuk melindungi dan meringankan penderitaan rakyat serta menjamin kebutuhan mereka. Bukan sebaliknya, justru meminta dihidupi dan dijamin oleh rakyat.

Sumber pendapatan yang selama ini bertumpu pada dana -- dana yang diambil dari rakyat harusnya diganti dengan optimalisasi pengelolaan sumber daya alam oleh Negara. Sebab, hasil pengelolaan sumber daya alam ini, tentu nilainya akan berlipat -- lipat lebih besar dibandingan dengan dana yang dikumpulkan dari penderitaan rakyat. Hanya saja, untuk merealisasikan hal ini, kita butuh negara dan penguasa yang mandiri. Yang secara politik, mampu mengambil keputusan untuk kesejahteraan rakyat. Bukan kesejahteraan segelintir oligarki dan kapitalis.

Wallahua'lam Bish Showab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline